BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kehidupan
manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik
suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa
akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti
makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga
mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang
lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota
masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga
negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau
berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung,
berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan
politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga
negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah
(non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem
politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur
pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya,
pemerintahnya, pemimpim politik dan lain-lain.
Budaya politik,
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan,
proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat
terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan
politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas.
Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber
masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian budaya politik itu?
2.
Apa
sajakah tipe-tipe budaya politik?
3.
Bagaimanakah
budaya politik di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Memahami
arti budaya politik
2.
Mengetahui
tipe-tipe budaya politik
3.
Memgetahui
bagaimana budaya politik di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Almond
dan Verba (1990) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi
yang khas dari warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya,
dan sikap terhadap peranan warga Negara di dalam system itu. Batasan ini
memperlihatkan pada kita adanya unsure individu, yakni warga Negara dan system
politik serta keterkaitannya. Dalam hal ini budaya politik terlihat dari
bagaimana sikap individu terhadap system politik dan bagaimana pula sikapnya
terhadap individu dalam system politik (Suharno, 2004: 90).
Sedangkan
menurut Austin Ranney, budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan
tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola
orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
Seperti
dikatakan oleh Almond bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam
suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena
budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya
konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan
kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen
berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi
beberapa unsur.
Menurut
Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi
kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif
mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi
tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek
politik sebagai berikut:
1. Orientasi
kognitif yaitu berupa pengetahuan
tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta
input dan outputnya.
2. Orientasi
afektif yaitu perasaan terhadap sistem
politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
3. Orientasi
evaluative yaitu keputusan dan pendapat
tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan
kriteria dengan informasi dan perasaan.
Di
dalam realitas kehidupan ketiga komponen ini tidak terpisah-pisah secara tegas.
Adanya perbedaan tingkat pemahaman tentang perkembangan masyarakay pada setiap
individu menyebabkan ketiga komponen tersebut saling terkait atau
sekurang-kurangnya saling terkait. Untuk dapat membentuk suatu penilaian
terhadap seorang pemimpin, seorang warga Negara harus mempunyai pengetahuan
yang memadai tentang si pemimpin. Dan pengetahuan itu sudah dipengaruhi oleh
perasaannya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh
pada system politik secara keseluruhan (Suharno, 2004: 91).
Budaya
politik suatu masyarakat berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat
dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai.interaksi yang demikian
memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara budaya politik bangsa. Proses
ini kita kenal dengan sosialisasi politik yaitu suatu proses dimana anggota
masyarakat mengalami, menyerap,dan menghayati nilai-nilai politik yang ada
disekitarnya. Jadi antara budaya politik dan sosialisasi politik bersifat
saling mempengaruhi. Pertumbuhan dan perkembangan politik merupakan output
sosialisasi politik dan dapat pula berfungsi sebagai input proses sosialisasi
politik (Suharno, 2004: 94).
Sosialisasi
politik didefinisikan oleh Ramlan Surbakti (2007: 117) sebagai proses
pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat. Melalui sosialisasi
politik inilah para nggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi kehidupan
politik yang berlangsung dalam masyarakat.Nilai-nilai politik yang
disosialisasikan adalah yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan
metode penyampaiannyadapat dilakukan dengan pendidikan politik dan indoktrinasi
politik (Cholisin dkk, 2007: 113).
B.
Tipe-Tipe
Budaya Politik
1. Budaya
politik parokial (parochial political culture)
Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu
bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada
menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran
politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh poleh
faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan seseorang
sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil.
Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama
sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan
masyarakat.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik
tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil,
sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan yang
satu dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan
pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi,
sosial, maupun keagamaan.
Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya areal
wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas
dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu
besar terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu,
yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada
profesi.
Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap
perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain
bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun dari
sistem poltik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina
parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan
orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya parokial
masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata nilai serta
unsur-unsur adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan pembagian
peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan sebagai pimpinan
politik sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin sosial
masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata
menonjol dalam budaya politik parokial ialah kesadaran anggota masyarakat akan
adanya pusat kewenangan / kekuasaan politik dalam masyarakat.
2. Budaya
politik kaula/subjek (subject political culture)
Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem
politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya
melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik ini,
masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya,
tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka yang
berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang
mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka
tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.
Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang
perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan
partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah
adanya otoritas pemerintah.
Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling
, baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem. Namun demikian, posisinya
sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa
posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka
beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi
ataupun mengubah sistem. Dengan demikian scara umum mereka menerima segala
keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak
dapat diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip
adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran,
perintah, serta kebijaksanaan pimpinannya.
Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam
masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian pula
orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada
kognitif. Oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang
demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai
terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja di
dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi kedalam bentuk perilaku konkret karena
diyakini tidak ada sarana untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam
masyarakat yang berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa masyarakat terbentuk
dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya individu atau kelompok
digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga harus puas dan pasrah
pada keadaannya.Biasanya siap-sikap seperti itu timbul karena diakibatkan oleh
faktor-faktor tertentu seperti proses kolonisasi dan kidiktatoran.
3. Budaya
politik partisipan (participant political culture)
Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi
terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat
dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat
keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang
tinggi.
Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam
kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki
orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan,
bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap
input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya politik itu seseorang
atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik,
masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. Dengan
demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu
saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa
kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi
berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran
sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada.
Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai
aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau
menerima.
4. Budaya
politik campuran (mixed political cultures)
Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan partisipasi
hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur
otoritarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam perubahan
sistem politik antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras, dalam
pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format
politik karena gagal mencapai harmoni.
Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu
tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju,
namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan
parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.
Seperti telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik murni (parochial,
kaula/subjek, dan partisipan) tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan
politik atau disebut budaya politik campuran (mixed political cultures). Adapun
tiga bentuk kebudayaan itu adalah sebagai berikut :
a. Kebudayaan
subjek parokial (The Parochial-subject Culture)
Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian
besar yang menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kerukunan desa atau
otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem
politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang
bersifat kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses peralihan parokial
awal dari parokialisme lokal menuju pemerintahan sentralisasi.
Dapat dikatakan bahwa sebuah sebuah kebudayaan politik yang memiliki
"kewibawaan" bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi pribadi
yang tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian, kebudayaan
politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah dimantapkan pada
sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan
kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis perbedaan tersebut merupakan
manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik itu.
Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik
campuran seperti itu, di dalamnya terdapat banyak individu-individu yang aktif
dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih
aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan
subjek parochial. Hal itu berarti bahwa warga Negara yang aktif melestarikan
ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih
penting sebagai seorang subjek.
Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan
orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik.
b. Kebudayaan
subjek partisipan (Subjek Participant Culture)
Peralihan dari budaya parochial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan
mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan. Secara
umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari objek ke
partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan dukungan
terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya subjek partisipan yang bersifat
seperti ini sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan
yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang
aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan
diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif
memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi
perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses
partisipasi aktif warga Negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif.
Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan itu dapat
mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi yang
saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan
demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infra struktur politik
mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat
menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong
terciptanya bentuk-bentuk perubahan.
c. Kebudayaan
parochial partisipan (The parochial Culture)
Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada
tatanan ini terlihat Negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan
kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang
berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak
menuntut kultur partisipan.
Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang
berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran
secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh
transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan
pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas
kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara
yang kompeten dan bertanggung jawab.
C.
Budaya
Politik di Indonesia
Budaya politik Indonesia bersifat
parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di
satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul
tanggungjawab politiknya, yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan
luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial, sedangkan
di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan yang aktif, yang
kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern, kadang-kadang bersifat
sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi
seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik
Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya
pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
Sifat ikatan primordial yang masih
berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan,
kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu;
puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu
petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik
yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum
elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur
untuk tujuan perekrutan dukungan.
Kecenderungan budaya politik
Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial;
sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak
senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai
keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang
menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
Varibel-variebel tersebut di atas
terjalin satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang
berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel
tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak
yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme.
Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi
tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi
tidak ditaati.
Walaupun budaya politik masyarakat
berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yang
kebanyakan dipengaruhi oleh hokum adat, tetapi dengan sosialisasi politik yang
tepat dapat meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Sehingga dengan
meningkatnya pengetahuan politik masyarakat, akan meningkatkan pula partisipasi
politik masyarakat. Hal ini dapat merubah budaya politik masyarakat yang selama
ini lebih menundukkan diri pada penguasa.
BAB III
KESIMPULAN
Budaya politik Indonesia bersifat
parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di
satu segi masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul
tanggungjawab politiknya yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan
luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial, sedang di
lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan yang aktif, yang
kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern, kadang-kadang bersifat
sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi
seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik
Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh
kebudayaan politik parokial-kaula.
Dengan sosialisasi politik yang
tepat dapat meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Sehingga dengan
meningkatnya pengetahuan politik masyarakat, akan meningkatkan pula partisipasi
politik masyarakat. Hal ini dapat merubah budaya politik masyarakat yang selama
ini lebih menundukkan diri pada penguasa. Serta masyarakat dapat lebih maksimal
dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Cholisin
dkk. 2007.Dasar Dasar Ilmu Politik.
Yogyakarta. UNY Press. Cetakan ketiga
Ramlan
Surbakti. 2007. Memahami Ilmu Politik.
Jakarta. Grasindo. Catakan keenam
Suharno.
2004. Sosiologi Politik. Yogyakarta.
Diktat
Di
download pada 20 Desember 2011 dari: