Anda Ingin, Anda Yakin, maka Itu MUNGKIN...

Thursday 29 March 2012

Sisi Lain Pak BeYe



Judul Buku      : Pak Beye dan Istananya
Penulis             : Wisnu Nugroho
Penerbit           : Kompas
Cetakan           : I, Juli 2010
Tebal               : 256 halaman

Segala sesuatu tentang Istana dan Presiden, selalu tampak sempurna. Baik dalam live TV maupun acara-acara yang digelar di Istana. Segala berita tentang Istana dan Presiden selalu menarik untuk di simak.

Pak BeYe dan Istananya adalah salah satu buku dari tetralogi tulisan Wisnu Nugroho yang mengungkapkan sisi lain kehidupan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Buku ini memceritakan hal-hal tidak penting tentang Pak BeYe dan segala sesuatu yang terjadi di kompleks istana kepresidenan. Sesuatu yang sifatnya tidak mendesak, tetapi menarik untuk disimak.

Tulisan-tulisan yang merupakan postingan di blog Kompasiana ini menunjukkan kecermatan Wisnu Nugroho. Dari parkir Istana yang menjadi showroom mobil saat rapat kabinet sampai acara pindahan Pak Beye ke Istana yang menyibukkan beberapa petugas dengan kasur King sizenya yang cukup merepotkan untuk dimasukkan lewat pintu Istana. Hal-hal kecil seperti itu diceritakan dengan menarik oleh Wisnu Nugroho.

Namun satu hal yang kurang dari buku ini adalah sering terulangnya cerita yang disajikan. Mungkin karena awalnya adalah postingan dari blog, sehingga dalam satu cerita harus mengulang sedikit cerita yang sebelumnya diposting agar pembaca paham, jadi agak aneh bila sudah menjadi buku.
Walau begitu, secara umum buku ini menarik untuk dibaca. Kehidupan Istana yang selalu terlihat sempurna dikupas secara halus dan menjadi “story behind the scene”.

Kenaikan BBM

Berkaitan dengan rencana kenaikan BBM awal bulan April, antara setuju dan tidak. Setuju, asal anggaran untuk subsidi BBM digunakan untuk kebutuhan yang benar. Tidak cuma untuk "hura-hura" dengan topeng study banding ke luar negeri. Selain itu dibutuhkan Transparansi anggaran, jadi tidak ada buruk sangka pada pemerintah yang terhormat. Dan Tidak setuju, alasannya kembali lagi pada alasan yang tadi, jika anggaran tidak digunakan dengan benar.

Tapi, setuju atau tidak, keputusan tetap ada pada tangan pemerintah. Sebagai rakyat, sudah menjadi ke"harus" an untuk menerima keputusan tersebut. Bukan berarti harus begitu saja menerima, toh kita juga bisa menyuarakan aspirasi kita. Kalau mendatangi gedung DPR yang terhormat dirasa tidak mungkin, satu-satunya jalan adalah demo. Bukan demo yang rusuh, tapi demo yang damai, walaupun selama ini, dengan demo yang 'rusuh' pun pemerintah seakan tidak mendengar keluhan rakyat., tapi setidaknya aspirasi sudah disampaikan.

Sebagai pertimbangan, dengan menaikkan harga BBM, pasti pemerintah sudah mempunyai pemikiran sendiri, apa akibat yang akan ditimbulkan. Harga kebutuhan pokok kemungkinan besar akan naik. Nah, bagaimana dengan nasib rakyat miskin??..tentu pemerintah sudah memikirkannya, dengan memberikan BLT sebesar Rp 150.000,00 per bulan yang akan diberikan selama enam bulan. Tapi masalahnya, apakah BLT sudah cukup efektif sebagai solusi? bisa dilihat sendiri kan bagaimana hasilnya.

Menyoroti alasan kenaikan BBM, sebenarnya apa alasannya? sebatas pada pengetahuan saya, alasannya adalah karena kenaikan harga minyak dunia, menyebabkan pembengkakan pada subsidi BBM yang semakin memberatkan APBN. Apalagi jumlah pengguna BBM bertambah setiap tahun. Alasan yang masuk akal menurut saya, karena menjaga kestabilan APBN juga penting.

Satu hal yang saya ingat, dan ada kemungkinan saya salah ingat adalah ucapan SBY saat menaik-turunkan harga BBM beberapa tahun lalu. Beliau mengucapkan bahwa harga BBM dalam negeri tidak dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Untuk ucapan tersebut sepertinya tidak mungkin, melihat kebutuhan minyak Indonesia sebagian besar tidak diproduksi sendiri. Atau mungkin ucapan tersebut hanya untuk mengambil hati rakyat yang pada waktu itu beliau akan mencalinkan diri kembali sebagai peresiden. Karena, sekali lagi, menurut ingatan saya, ucapan tersebut diucapkan saat menurunkan BBM padahal harga minyak dunia masih melambung.

Mengenai komentar kenaikan BBM ini, banyak banyak yang setuju dan tidak. Bahkan, teman saya mengatakan "untuk beli BB, iPad, dan gadjet  lain yang harganya jutaan oke-oke aja, giliran harga BBM naik Rp 1500,00 saja menjadi masalah". Tanggapan saya ya hanya tersenyum. Rakyat kan boleh berpendapat apa saja. Jadi, mau setuju atau tidak ya monggo...

Tuesday 27 March 2012

Budaya Politik Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lain-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian budaya politik itu?
2.      Apa sajakah tipe-tipe budaya politik?
3.      Bagaimanakah budaya politik di Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Memahami arti budaya politik
2.      Mengetahui tipe-tipe budaya politik
3.      Memgetahui bagaimana budaya politik di Indonesia




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Almond dan Verba (1990) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga Negara di dalam system itu. Batasan ini memperlihatkan pada kita adanya unsure individu, yakni warga Negara dan system politik serta keterkaitannya. Dalam hal ini budaya politik terlihat dari bagaimana sikap individu terhadap system politik dan bagaimana pula sikapnya terhadap individu dalam system politik (Suharno, 2004: 90).
Sedangkan menurut Austin Ranney, budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
Seperti dikatakan oleh Almond bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut:
1.      Orientasi kognitif  yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
2.      Orientasi afektif  yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
3.      Orientasi evaluative  yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
Di dalam realitas kehidupan ketiga komponen ini tidak terpisah-pisah secara tegas. Adanya perbedaan tingkat pemahaman tentang perkembangan masyarakay pada setiap individu menyebabkan ketiga komponen tersebut saling terkait atau sekurang-kurangnya saling terkait. Untuk dapat membentuk suatu penilaian terhadap seorang pemimpin, seorang warga Negara harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Dan pengetahuan itu sudah dipengaruhi oleh perasaannya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh pada system politik secara keseluruhan (Suharno, 2004: 91).
Budaya politik suatu masyarakat berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai.interaksi yang demikian memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara budaya politik bangsa. Proses ini kita kenal dengan sosialisasi politik yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat mengalami, menyerap,dan menghayati nilai-nilai politik yang ada disekitarnya. Jadi antara budaya politik dan sosialisasi politik bersifat saling mempengaruhi. Pertumbuhan dan perkembangan politik merupakan output sosialisasi politik dan dapat pula berfungsi sebagai input proses sosialisasi politik (Suharno, 2004: 94).
Sosialisasi politik didefinisikan oleh Ramlan Surbakti (2007: 117) sebagai proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat. Melalui sosialisasi politik inilah para nggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat.Nilai-nilai politik yang disosialisasikan adalah yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan metode penyampaiannyadapat dilakukan dengan pendidikan politik dan indoktrinasi politik (Cholisin dkk, 2007: 113).

B.     Tipe-Tipe Budaya Politik
1.      Budaya politik parokial (parochial political culture)
Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan.
Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya areal wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada profesi.
Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun dari sistem poltik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya parokial masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata nilai serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan sebagai pimpinan politik sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata menonjol dalam budaya politik parokial ialah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan politik dalam masyarakat.
2.      Budaya politik kaula/subjek (subject political culture)
Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.
Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah.
Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling , baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem. Namun demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan demikian scara umum mereka menerima segala keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijaksanaan pimpinannya.
Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian pula orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada kognitif. Oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi kedalam bentuk perilaku konkret karena diyakini tidak ada sarana untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap seperti itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti proses kolonisasi dan kidiktatoran.
3.      Budaya politik partisipan (participant political culture)
Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.
Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya politik itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.
4.      Budaya politik campuran (mixed political cultures)
Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan partisipasi hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otoritarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam perubahan sistem politik antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras, dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format politik karena gagal mencapai harmoni.
Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.
Seperti telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik murni (parochial, kaula/subjek, dan partisipan) tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan politik atau disebut budaya politik campuran (mixed political cultures). Adapun tiga bentuk kebudayaan itu adalah sebagai berikut :
a.       Kebudayaan subjek parokial (The Parochial-subject Culture)
Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses peralihan parokial awal dari parokialisme lokal menuju pemerintahan sentralisasi.
Dapat dikatakan bahwa sebuah sebuah kebudayaan politik yang memiliki "kewibawaan" bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi pribadi yang tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian, kebudayaan politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah dimantapkan pada sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis perbedaan tersebut merupakan manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik itu.
Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik campuran seperti itu, di dalamnya terdapat banyak individu-individu yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan subjek parochial. Hal itu berarti bahwa warga Negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek.
Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik.
b.      Kebudayaan subjek partisipan (Subjek Participant Culture)
Peralihan dari budaya parochial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya subjek partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga Negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif.
Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan itu dapat mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infra struktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.
c.       Kebudayaan parochial partisipan (The parochial Culture)
Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini terlihat Negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan.
Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab.
C.    Budaya Politik di Indonesia
Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi massa masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya, yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial, sedangkan di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan yang aktif, yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern, kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
Sifat ikatan primordial yang masih berurat berakar yang dikenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; puritanisme dan nonpuritanisme dan lain-lain. Di samping itu, salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan perekrutan dukungan.
Kecenderungan budaya politik Indonesia yang masih mengkukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat disebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang. Di Indonesia, budaya politik tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasan untuk tumbuh dengan persepsi masyarakat terhadap obyek politik yang menyandarkan atau menundukkan diri pada proses output dari penguasa.
Varibel-variebel tersebut di atas terjalin satu sama lain, berinteraksi, bersilangan, kadang-kadang berkoinsidensi yang bentuk potret sementaranya bergantung pada variabel tertentu yang relatif paling dominan. Akibat budaya politik seperti ini, dampak yang menonjol selama orde baru adalah kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan seseorang pada jabatannya cenderung bukan berdasarkan prestasi tetapi pada kolusi atau nepotisme, peraturan tentang pengangkatan ada tetapi tidak ditaati.
Walaupun budaya politik masyarakat berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yang kebanyakan dipengaruhi oleh hokum adat, tetapi dengan sosialisasi politik yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Sehingga dengan meningkatnya pengetahuan politik masyarakat, akan meningkatkan pula partisipasi politik masyarakat. Hal ini dapat merubah budaya politik masyarakat yang selama ini lebih menundukkan diri pada penguasa.



BAB III
KESIMPULAN
Budaya politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan dilain pihak; di satu segi masyarakat masih ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya yang mungkin disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial, sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan yang aktif, yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern, kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-kaula.
Dengan sosialisasi politik yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Sehingga dengan meningkatnya pengetahuan politik masyarakat, akan meningkatkan pula partisipasi politik masyarakat. Hal ini dapat merubah budaya politik masyarakat yang selama ini lebih menundukkan diri pada penguasa. Serta masyarakat dapat lebih maksimal dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya.



DAFTAR PUSTAKA

Cholisin dkk. 2007.Dasar Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta. UNY Press. Cetakan ketiga
Ramlan Surbakti. 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. Grasindo. Catakan keenam
Suharno. 2004. Sosiologi Politik. Yogyakarta. Diktat

Di download pada 20 Desember 2011 dari:

Masyarakat Madani


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2.      Rumusan Masalah
a.       Apakah yang dimaksut dengan Masyarakat Madanai?
b.      Apakah cirri-ciri masyarakat Madani?
c.       Bagaimanakah masyarakat Madani di Indonesia?
d.      Bagaimanakah terbentuknya masyarakat Madanai di Indonesia?

3.      Tujuan
a.       Memahami pengertian Masyarakat Madani
b.      Mengetahui ciri-ciri masyarakat Madani
c.       Mengetahui bagaimana masyarakat Madani di Indonesia
d.      Mengetahui awal terbentuknya Masyarakat Madani di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

Banyak ahli dan pengamat menilai bahwa masyarakat madani sedang berada dalam pembentukan di Indonesia. Beberapa indikasi sering diangkat, seperti cepatnya demokratisasi, kian terbentuknya kelas menengah sosial ekonomi yang berpendidikan tinggi dan mempunyai kekuatan ekonomi, dan semakin terbukanya akses informasi.
        Kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini merupakan suatu bentuk tindakan yang bertentangan dengan konsep masyarakat madani yang secara relatif harfiah dapat dipahami sebagai "masyarakat beradab" berbudaya atau bertamadun. Karena, kerusuhan-kerusuhan sosial itu pada hakikatnya mencerminkan perilaku aktor-aornya yang tidak demokratis, tidak peduli huukum, (lawlessness), tidak beradap ( uncivilized) dan bahkan mungkin juga barbar.
        Adakah hubungan gerakan yang mengklaim sebagai gerakan prodemokrasi dan pembentukan masyarakat madani??
        Sementara orang menyatakan bahwa gerakan-gerakan prodemokrasi merupakan salah satu prsyarat bagi pembentukan masyarakat madani. Bahkan lebih jauh lagi gerakan-gerakan prodemokrasi hampir diidentifikasikan dengan posisi pemerintah. Dalam pandangan ini, suatu gerakan baru dapat disebut prodemokrasi apabila selalu berseberangan dengan dengan rezim penguasa secara mapan. Dipengaruhi peristiwa politik di eropa dengan dukungan teori berbagai sarjana, diantaranya adalah Guiseppe Di Palma, kelompok itu menyatakan bahwa masyarakat sipil adalah musuh alamiah otokrasi, kediktatoran, dan bentuk-bentuk lain kekuasaan yang sewenang-wenang.
        Akibatnya, gerakan kelompok dan kekuatan-kekuatan lain yang sebenarnya juga sangat terlibat dalam demokratisasi tidak dianggap sebagai gerakan prodemokrasi. demokrasi dalam konteks kalangan itu, tidak selalu berarti oposisi. demokrasi lebih sering dianggap aspek kehidupan bukan hanya politik, tetapi juga sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan seterusnya.
        apakah masyarakat sipil-khususnya sebagai diinginkan kelompok-kelompok yang menyebutkan dirinya sebagai geraka prodemokrasi-harus berdiri head to gead atau oposisi dengan kekuasaan atau bahkan menumbangkan kekuasaan itu sendiri.
        Masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Sivilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
1.      Pengertian dan Ciri-Ciri Masyarakat Madani (civil society)
Masyarakat madani berasal dari proses sejarah Barat. Akar perkembangannya dapat diruntut mulai Cicero dan bahkan sejak jaman Aristoteles. Yang jelas, Cicero mulai menggunakan istilah societies civilis dalam filsafatnya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian Negara, yakni suatu kelompok yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain.
Diskusi-diskusi mutakhir tentang civil society pada umumnya berproses pada pemahaman de Tocqueville. Civil society dapat dicirikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan diantaranya bercirikan:
a.       Kesukarelaan (voluntary)
b.      Keswasembadaan (self generating)
c.       Keswadayaan (self supporting)
d.      Kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara
e.       Keterkaitan dengan norma atau nilai-nilai hokum yang diikuti warganya. Dari pengertian tersebut, civil society berwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh Negara. Lembaga swadaya masyarakat, organi social keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok-kelompok kepentingan merupakan wujud dari kelembagaan civil society (Sunarso dkk, 2008: 82).
Perbedaan antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.
Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
a)      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat  melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
b)      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
c)      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
d)     Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
e)      Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
f)       Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu  mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
g)      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:
a)      Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
b)      Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 
c)      Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain  terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
d)     Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga  swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan  kebijakan publik dapat dikembangkan.
e)      Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling  menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
f)       Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,  hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
g)      Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan  yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak asasi manusia.
Civil Society sebagai pemberdaya warga Negara akan dapat mendorong Demokratisasi apabila mampu meningkatkan efektivitas masyarakat politik untuk menguasai/mengontrol Negara. Civil Society bukan hanya bermaksut mengenbangkan loyalitas yang khusus tertuju pada kelompoknya, tetapi juga kepada Negara serbatas  dengan hak-kewajibannya sebagai warga Negara, tanpa begitu saja membiarkan Negara melakukan dominasi dan hegemoni. Civil Society adalah otonom dalam berhadapan dengan Negara (Cholisin, 2009: 39).

2.      Masyarakat Madani di Indonesia
Secara historis civil society di Indonesia telah muncul setelah proses transformasi akibat modernisasi terjadi yang menghasilkan pembentukan masyarakat baru yang berbeda dengan masyarakat tradisional. Dengan demikian, akar civil society di Indonesia dapat dirunut secara historis sejak terjadinya perubahan social ekonomi pada masa kolonial Belanda. Hal tersebut mendorong terjadinya pembentukan masyarakat baru lewat proses industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan modern. Hasilnya antara lain adalah munculnya kesadaran baru di kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi modern di awal abad ke-20.
Dalam perjalanannya,pertumbuhan civil society  di Indonesia pernah mengalami suatu masa yang sangat menjanjikan untuk pertumbuhannya. Hal ini terjadi sejak kemerdekaan sampai 1950an, yaitu saat organisasi-organisasi social dan politikdibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari masyarakat yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, terciptalah kekuatan masyarakat yang mampu menjadi penyeimbang dan pengawas terhadap kekuatan Negara. Sayang sekali, iklim demikian tidak bertahan lama karena ormas-ormas dan lembaga –lembaga social berubah menjadi alat bagi merebaknya aliran politik dan pertarungan berbagai ideology. Pada awal 1960an, akhirnya mengalami kemunduran yang nyata. Demokrasi terpimpin maupun orde baru membuat posisi Negara semakin kuat sedangkan posisi rakyat semakin melemah. Pada masa itu terjadi paradok,yaitu semakin berkembangnya kelas menengah pada masa orde baru ternyata tidak bisa mengontrol hegemoni Negara kerena ternyata kelas menengah di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Negara dan penguasa. Kelas menengah di negeri ini juga masih punya problem cultural dan primordial, yaitu ada kelas menengah pribumu dan non pribumi, muslim dan non muslim, jawa dan non jawa. Hal ini berpengaruh terhadap munculnya solidaritas di kalangan para anggotanya. Akibatnya, Negara mudah melakukan tekanan dan pencegahan bagi timbulnya solidaritas kelas menengah untuk memperluas kemandiriannya (Sunarso dkk, 2008: 82-83).



3.      Bangkitnya Masyarakat Madani di Indonesia
Wacana civil society telah menjadi salah satu cara untuk melepaskan kekecewaan atau ketidak puasan sebagian warga masyarakat terhadap praktik-praktik politik orde baru yang sangat hegemonic dalam pengelolaan social, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Dalam penataan politik, misalnya, orde baru meakukan hal-hal berikut:
a.       Reformasi pada tingkat elite dengan membentuk korporasi Negara dimana militer, teknokrat, dan birokrat menjadi sendi-sendi utamanya.
b.      Depolitisasi arus bawah oleh melalui kebijakan masa mengambang dan dikalangan mehasiswa melalui kebijakan normalisasi kehidupan kampus
c.       Institusionlisasi politik dalam masyarakat dengan berbagai cara:
1)      Penyederhanaan system kepartaian dan penyatuan ideology politik formal melalui asas tunggal pancasila
2)      Dalam penataan kebudayaan, terutama yang terkait dengan ideology bangsa, selain pengasastunggalan ideology organisasi politik (dan organisasi masyarakat), juga dilakukan program penataran P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila) dengan memonopoli interpretasi Pancasila oleh Negara
3)      Penerapan pendekatan keamanan kepada para pembangkang
Dalam penataan ekonomi, rezim orde baru melakukan akumulasi modal melalui:
a.       Mobilisasi kekuatan kelas borjuis nasional sebagai motornya walauipun masih dimonopoli kaum non pribumi
b.      Pelibatan diri secara aktif dalam system kapitalis dunia sehingga diperoleh dukungan, baikfinansial, teknik, keahlian maupun politik dari lembaga-lembaga internasional yang berkeentingan dengan ekspansi system kapitalisme global
Dalam penataan social, rezim orde baru melakukan proses produksi dan reproduksi social melalui :
a.       Penguasaan wacana yang menyangkut tema modernisasi,terutama pembangunan ekonomi
b.      Menciptakan legalisme konstitusionalisme atau perubahan sub wacana dan sus praksis politik dengan acuan konstitusional
Ditengah hegemoni Negara era orde baru yang melakukan pembatasan dan penutuan ruang kebebasan itu, masyarakat madani memperoleh momentumnya sebagai objek wacana. Ketika bangsa Indonesia memasuki era reformasi sebagai koreksi terhadap era sebelumnya, wacana masyarakat madanai terakumulasi menjadi cita-cita ideal untuk menciptakan masyarakat Indonesia baru. Pada awal era reformasi banyak seminar, diskusi, dan talkshow yang digelar dan artikel yang ditulis tentang pembangunan masyarakat baru yang terkait dengan wacana masyarakat madani, baik secara implicit maupun eksplisit. Lebih dari itu, di era Habibie yang sangat singkat, masyarakat madani telah dijadikan pemerintah sebagai acuan reformasi dan pembentukan masyarakat Indonesia baru melalui pendirian tim nasional reformasi menuju masyarakat madani. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa sebagian besar dari fenomena komunalisme dan radikalisme masa itu menggunakan instrument agama (bahasa, organisasi, symbol, dan sentiment) dalam ideology dan gerakannya.
Delam perkembangan selanjutnya terlihat ada kesenjangan antara harapan membangun masyarakat baru yang menjadikan masyarakat madani, baik sebagai basis maupun cita-cita idealnya, dan kenyataan social yang menampilkan radikalisme massa, seperti terlihat pada amuk massa(main hakim sendiri) terhadap pelanggaran tindak pidana (mencuri, mencopet, menodong), tawuran dan/atau kerusuhan (baik antar dan intra etnis mauoun antar dan intra agama), atau sekedar mobilisasi massa sebagai dampak konflik antar elite politik, bahkan juga terjadi baku hantam di forum siding tahunan MPR tahun 2001. Contoh-contoh radikalisme massa ini, bagaimanapun, mengimplisitkan tampilan sifat komunal masyarakat Indonesia ketika memasuki ruang public. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa sebagian besar dari fenomena komunalismedan radikalisme massa itu menggunakan instrument agama dalam ideology dan gerakannya (Sunarso dkk,2008: 84-85).


BAB III
KESIMPULAN

Pengertian civil society atau masyarakat madani dianggap sama dengan pengertian Negara, yakni suatu kelompok yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Perbedaan antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.
Civil Society sebagai pemberdaya warga Negara akan dapat mendorong Demokratisasi apabila mampu meningkatkan efektivitas masyarakat politik untuk menguasai/mengontrol Negara. Civil Society bukan hanya bermaksut mengenbangkan loyalitas yang khusus tertuju pada kelompoknya, tetapi juga kepada Negara serbatas  dengan hak-kewajibannya sebagai warga Negara, tanpa begitu saja membiarkan Negara melakukan dominasi dan hegemoni. Civil Society adalah otonom dalam berhadapan dengan Negara
Di Indonesia, wacana civil society telah menjadi salah satu cara untuk melepaskan kekecewaan atau ketidak puasan sebagian warga masyarakat terhadap praktik-praktik politik orde baru yang sangat hegemonic dalam pengelolaan social, ekonomi, politik, dan kebudayaan




DAFTAR PUSTAKA
Cholisin. 2009. Ilmu Kewarganegaraan (Civics). Yogyakarta. Diktat
Sunarso dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta.UNY Press
Di download dari: