BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Tidak ada suatu negara pun yang tidak memiliki tujuan.
Tujuan negara sangat beragam. Tiap penguasa dapat saja mengemukakannya. Para
sarjana ada yang mengemukakan tujuan negara dihubungkan dengan tujuan akhir
dari manusia dan ada pula yang menghubungkannya dengan kekuasaan (Abu Daud
Busroh,1989:49).
Pentingnya pembicaraan tentang tujuan negara ini terutama
berhubungan dengan bentuk negara, susunan negara, organ-organ negara, atau
badan-badan negara yang harus diadaka, fugsi dan tugas dari organ-organ
tersebut, serta hubungan antara organ yang satu dengan yang lain yang selalu
harus disesuaikan dengan tujuan negara.
Lagipula dengan mengetahui tujuan negara, kita dapat
menjawab soal legitimasi kekuasaan, yaitu kekuasaan dari oranisasi negara, juga
dapat mengetahui sifat dari organisasi negara. Karena semua itu harus sesuai
dengan tujuan negara. Padahal tentang tujuan negara ini ada banyak sekali yang
diajukan atau diajarkan oleh para sarjana, terutama oleh para pemikir tentang
negara dan hukum. Maka sebagai akibatnya juga terdapat bermacam-macam pendapa
tentang soal-soal kenegaraan (Soehino,2005:147).
Tetapi kita harus ingat bahwa tidak ada seorang sarjana
ahli pemikir tentang negara dan hukum yang dapat merumuskan dengan tepat tentang
ujuan negara. Jadi mereka hanya menyebutkan secara umum dan bersifat
samar-samar.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
tujuan negara di era klasik?
2.
Apakah
tujuan negara di abad-19?
III.
TUJUAN
- Mengetahui tujuan negara di era klasik
- Mengetahui tujuan negara di abad-19
BAB II
PEMBAHASAN
Negara yang
telah didrikan atau telah berdiri sudah barang tentu mempunyai tujuan yang
ingin dicapai. Namun, ternyata untuk menguraikan tujuan negara itu tidaklah
semudah yang kita bayangkan. Hal ini disebabkan adanya teori tujuan negara yang
berbeda-beda yang telah diajukan oleh beberapa sarjana.Mengingat tujuan mereka
dari sudut berbeda-beda. Berikut adalah tujuan negara di era klasik dan abad 19
:
I.
ERA KLASIK
A. Socrates
Semua manusia menginginkan kehidupan aman, tentram, dan
lepas dari gangguan yang memusnahkan harkat manusia. Kala itu orang-orang yang
mendambakan ketentraman menuju bukit dan membangun benteng, serta mereka
berkumpul disana menjadi kelompok. Kelompok inilah yang oleh Socrates dinamakan
polis (satu kota saja). Organisasi yang mengatur hubungan antara orang-orang
yang ada di dalam Polis itu tidak hanya mempersoalkan organisasinya saja, tapi
juga tentang kepribadian orang-orang disekitarnya. Socrates menganggap polis
identik degan masyarakat dan masyarakat identik dengan negara (Abu Daud Busroh,
1989:20-21).
Socrates
mengatakan bahwa tujuan negara adalah untuk mengatur hubungan antara
orang-orang yang ada di dalam Polis itu, tidak hanya mempersoalkan
organisasinya saja, tetapi juga tentang kepribadian orang-orang di sekitarnya.
Rakyatnya harus menaati undang-undang tersebut. (Soehino, 1998:14-15).
Sistem pemerintahan negara bersifat demokratis yang
langsung. Rakyat ikut secara langsung menentukan kebijaksanaan pemerintahan
negara. Hal ini dapat dilakukan karena negara saat itu hanya merupakan suatu
kota kecil, rakyat hanya sedikit, kepentingan rakyat belum banyak (Soehino,
1980:15).
B. Plato
Plato mengatakan bahwa tujuan negara yang sebenarnya
adalah untuk mengetahui atau mecapai atau mengenal idea yang sesungguhnya,
sedang yang dapat mengetahui atau mencapai idea yang sesungguhnya itu hanyalah
akhli-akhli filsafat saja, maka dari itu pimpinan negara atau pemerintahan
negara sebaiknya dipegang oleh ahli-ahli filsafat saja (Soehino, 2005:17).
Ajaran-ajaran
Plato tentang negara dan hukum dalam buku-bukunya tadi banyak dipengaruhi alam
pikiran Plato dalam lapangan filsafat, bahkan sesungguhnya alam pikiran inilah
yang melahirkan buku-bukunya tersebut. Ajaran Plato banyak pengaruhnya di dalam
ajarannya tentang negara dan hukum, misalnya di dalam ajarannya tentang tujuan
negara. Plato mengatakan bahwa tujuan negara yang sebenarnya adalah untuk
mengetaui atau mencapai idea yang sesungguhnya itu hanyalah ahli-ahli filsafat
saja, maka dari itu pimpinan negara atau pemerintahan negara sebaiknya harus di
pegang oleh ahli-ahli filsafat saja. Hal ini nanti akan di buktikan secara
dialektis oleh Plato di dalam ajarannya tentang bentuk-bentuk negara.
Ajaran
Plato tentang bentuk-bentuk negara, menurutnya adalah puncak daripada bentuk
Negara dimana pemerintahannya di pegang oleh para cerdik, pandai dan yang dalam
menjalankan pemerintahannya itu berpedoman pada keadilan. Segala sesuatu di
tujukan untuk kepentingan bersama, agar keadilan dapat merata. Kemudian
pemerintahan Aristokrasi itu tidak lagi di jalankan untuk kepentingan umum, dan
tidak lagi berpedoman pada keadilan, terjadilah perubahan dari Aristokrasi
menjadi Timokrasi. Dalam pemerintahan Timokrasi sifat jiwa orang-orang yang
memegang pemerintahan ini mempengaruhi sifat pemerintahannya, dan dengan
berubahnya sifat pemerintahannya, dan dengan berubahnya sifat pemerintahannya
itu mengakibatkan berubahnya bentuk Negara dari Timokrasi menjadi Oligarki.
Dalam
pemerintahan Oligarki ini yang berkuasa adalah orang-orang yang memegang
kekuasaan yakni orang-orang kaya tadi, mempunyai hasrat untuk ingin lebih kaya
lagi. Keadaan ini menimbulkan kemelaratan umum sedangkan tekanan dari penguasa
semakin bertambah berat. Maka setelah itu rakyat menyadari keadaannya,
bersatulah mereka memberontak melawan para hartawan yang memegang pemerintahan.
Setelah
pemerintahan negara pindah ke tangan rakyat, maka tentunya yang di perhatikan
adalah kepentingan-kepentingan rakyat, kepentingan umum yang di namakan
Demokrasi. Tetapi akhirnya, karene kmerdekaan dan kebebasan ini sangat di
dewa-dewakan, timbullah penyalahgunaaan, timbullah kemerdekaan dan kebebasan
yang tidak terbatas, orang ingin merdeka-semerdeka-merdekanya, ingn
bebas-sebebas-bebasnya.Dan berubah menjadi bentuk Anarki.
Kemudian
berubah lagi menjadi bentuk Tyranni, pemerintahan inilah yaitu pemerintahan
yang sangat jauh dari cta-cita keadilan, sebab seorang Tyran itu selalu
berusaha menekan rakyatnya. Dengan ajarannya di atas, Plato telah membuktikan
melalui jalan dialektika, bahwa Aristokrasilah yang merupakan pemerintahan yang
terbaik, karena hanya keadilanlah. Rakyat dapat mencapai tujuan negara, karena
suatu susunan pemerintahan dari dan di jalankan oleh orang-orang yang berbakat
dan bijaksana yang dapat membawa kebahagiaan.
Sedangkan
yang terjelek adalah Tyranni. Kehidupan jiwa seorang Tyrann sebagai makhluk
yang paling tak berbahagia. Meskipun seoang Tyrann berada di puncak
kekuasaannya, ia menjadi mangsa dari semua nafsunya. Karena itu, sesungguhnya
ia lebih sengsara daripada rakyatnya sendiri yang di perintahnya.
Dalam
waktu hidupnya, ajaran-ajaran Plato itu hanya di anggap sebagai
permainanpikiran saja dari kaum penganggur, tetapi dalam jaman-jaman kemudian
terlebih setelah Plato meninggal dunia, ajaran-ajarannya itu mempunyai nilai
dan arti yang maha besar. Sepertinya nanti pada abad-abad pertengahan,
ajaran-ajarannya itu dapat mengangkat manusia ke tingkat penghidupan yang lebih
tinggi; selain itu memang banyak persamaannya antara Negara yang dicita-citakan
Plato dengan negara dari gereja Katholik dalam abad-abad pertengahan. (Soehino,
1998:14-23).
C. Aristoteles
Seperti juga Plato, Aristoteles pun beranggapan bahwa
negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya, supaya mereka dapat
hidup baik dan bahagia. Jadi menurut Aristoteles, negara itu merupakan suatu
kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kebaikan yang tertinggi yaitu
kesempurnaan diri manusia sebagai anggota negara. Dengan demikian, Arisoteles
telah menjadi seorang realistis, sedangkan Plato adalah seorang idealis. Hal
yang demikian ini akan dapat kita pahami bila kita melihat dan memerhatikan
keadaan yaitu bahwa Plato menciptakan filsafatnya itu dalam keadaan alam
demokrasi, dimana orang selalu mencari jalan mencapai keadilan. Sedangkan
Aristoteles menciptakan filsafatnya dalam keadaan alam kerajaan dunia, dimana
rakyat yang dulunya merdeka dikuasai oleh seorang penguasa asing yang
memerintah dengan kekuasaan tak terbatas. Jadi degan demikian sandainya unsur
etis yang merupakan dasar untuk pikiran yang universalistis tentang negara dan
hukum itu dijadikan bagian dari Ilmu Negara, maka hal itu harus juga dijadikan
ukuran bagi perbuatan-perbuatan, juga bagi pemerintah (penguasa). Hal ini
kiranya akan tidak mungkin, karena akan dilarang penguasa dari kerajaan yang
absolut, lebih-lebih jika kekuasaan pemerintahan yang ada itu merupakan
kekuasaan asing. Maka dari itu, sistematik buku Aristoteles sangat berlainan
dengan sistematik buku Plato (Soehino, 1998:24)
Menurut
Aristoteles Negara adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kellompok yang
besar. Kebahagiaan dalam Negara akan tercapai bila terciptanya kebahagiaan
individu(perseorangan). Negara menyelenggarakan kemakmuran warganya oleh karena
itu negara sebagai alat agar kelompok manusia bertingkah laku mengikuti tata
tertib yang baik dalam masyarakat. Dengan demikian negara sekaligus merupakan
orgnisasi kekuasaan.
Seperti juga Plato, Aristoteles pun
beranggapan bahwa negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga
negaranya,supaya mereka dapat hidup baik dan bahagia. Jadi menurut Aristoteles,
Negara itu merupakan suatu kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kebaikan yang
tertinggi yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota negara.
Dengan demikian, Aristoteles telh
menjadi seorang realistis, sedangkan Plato adalah seorang idealis. Hal yang
demikian akan dapat kita pahami bila kita melihat dan memperhatikan keadaan
yaitu Plato menciptakan filsafatnya itu dalam keadaan alam demokrasi, dimana
orang selalu mencari jalan mencapai keadilan. Sedangkan Aristoteles menciptakan
filsafatnya dalam keadaan alam kerajaan dunia, dimana rakyat yang dulunya
merdeka dikuasai oleh seorang penguasa asing yang memerintah dengan kekuasaan
tak terbatas.
Jadi dengan demikian seandainya
unsur etis yang merupakan dasar untuk pikiran yang universalistis tentang
Negara dan hukum itu dijadikan bagian dari ilmu Negara, maka hal itu harus juga
dijadikan ukuran bagi perbuatan-perbuatan, juga pemerintah(penguasa). Hal ini
kiranya akan tidak mungkin, karena akan dilarang dari kerajaan yang absolute,
lebih-lebih jika kekuasaan yang ada itu mrupakan kekuasaan asing. Maka dari
itu, sistematik buku Aristoteles sangat berlainan dengan sistematik buku Plato.
D. Epicurus
Berlainan dengan keadan waktu hidupnya Aristoteles, yaitu
sedang jaya-jayanya kerajaan dunia dari raja Alaxeander yang Agung, maka
Epicurus hidup (tahun 342-271 SM) ketika kerajn dunia dari raja Alexander Yang
Agung itu jatuh, setelah Alexander Yang Agung wafat pada tahun 323 SM. Sebagai
akibatnya negara Yunani terpecah belah. Keadaan ini nanti akan berlangsung terus
sampai negara Yunani itu menjadi bagian dari kerajaan dunia Romawi. Karena
keadaan tersebut, maka Epicurus telah menciptakan aliran baru dalam dunia
filsafat, yang ajarannya tentang negara dan hukum berdasarkan atas keadaan yang
telah berubah itu.
Karena keadaan negara yang telah terpecah belah itu, maka
sifat hubungan antara manusia dengan negara berubah. Ketika dulu diajarkan oleh
Aristoteles bahwa yang merupakan bagian yang terpenting itu adalah negara atau
masyarakat, maka sekarang orang mulai bersikap acuh tak acuh. Manusia sebagai
individu dan negara mulai terasing satu sama lain, dan tidak ada kemungkinan
lagi untuk mendidik orang yang menjadi warganegara yang baik dari negara. Dalam
keadaan demikian inilah Epicurus kemudia menciptakan ajarannya yang bersifat
individualistis. Individuaismenya ini kemudian mendesak universalismenya
Aristoteles, yang dulu sebagai kebangsaan Yunani dimaksudkan sebagai dasar cara
berfikir mereka.
Tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban dan
keamanan, serta untuk terseleggaranya, orang harus menundukkan diri pada
pemerintah yang bagaimana pun bentuk dan sifatnya. Selain itu menurut Epicurus,
tujuan negara selain menyelenggarkan ketertiban dan keamanan, yang penting
adalah menyelenggarakan kepentingan perorangan. Jadi berarti menyelenggarakan
keenakan pribadi. Tetapi dijelaskan oleh Epicurus, bahwa yang dimaksud keenakan
pribadi bukan keenakan yang bersifat materealistis, meskipun ini kadang-kadang
diusahakan juga, melainkan yang penting adalah keenakan yang bersifat kejiwaan
atau kerohanian. Oleh karena keenakan ini bersaifat lebih langgeng atau abadi
bila dibandingkan dengan keenakan yang bersifat materealistis.
Tetapi
dijelaskan oleh Epicurus, bahwa yang dimaksud keenakan pribadi bukan keenakan
yang bersifat matrealistis, meskipun ini kadang-kadang diusahakan juga,
melainkan yang penting adalah keenakan yang bersifat kejiwaan atau kerohanian.
Oleh karena keenakan ini bersifat lebih langgeng atau abadi bila dibandingkan
dengan keenakan yang bersifat matrealistis
E. Nicollo
Machiaveli
Menurut
Machiavelli disamping kekuasaan, tujuan negara adalah terciptanya kemakmuran
dan persatuan. Untuk mencapai tujuan tersebut :
1.
Pemerintah
harus selalu berusaha tetap berada diatas segala aliran, kendatipun ia lemah ia
harus bisa menunjukkan bahwa ia yang lebih berkuasa.
2.
Terhadap
rakyat, pemerintah harus kadang-kadang sebagai singa supaya rakyat takut kepada
pemerintah, atau kadang seperti kancil yang cerdik menguasai rakyat.
3.
Pemerintah
boleh berbuat apa saja, asal untuk kepentingan negara.
4.
Setiap
perlawanan terhadap pemerintah harus dtindak
5.
Pemerintah
harus melepaskan diri dari sendi-sendi natuurrecht, jadi bileh abaikan
sendi-sendi kesusilaan.
Kelima
hal inilah yang dikenal sebagai Machiavellisme. Jadi tujuan kekuasaan menurut Machiavelliadalah
untuk mempersatukan rakyat (Max Boli Sabon, 1998: 93).
F. Imanuel
Kant
Menurut Imanuel Kant, tjuan negara adalah menegakkan hak
dan kebebasan warganya, yang berarti bahwa negaa harus menjamin kedudukan hukum
individu dalam negara itu. Jaminan itu berartitidak boleh ada paksaan terhadap
warga negara yang tidak mematuhi ndang-undang karena mereka tidak
menyetujuinya. Selain itu juga berarti bahwa setiap warga negara mempunyai
kedudukan hukum yang sama, dan tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang
oleh penguasa (Max Boli Sabon, 1998: 94).
Untuk mencapai tuuan negara itu, negara harus melakkan
pemisahan kekuasaan dengan badan masing-masing, yaitu kekuasaan legislatif
dikuasai oleh badan legislatif, kekuasaan eksutif dikasai oleh badan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif dikuasai oleh badan yudikatif. Ajaran Kant ini
merupakan ajaran tentag negara hukum. Akan tetapi, ajaran ini mendapat kritikan
antara ain dari Kranenburg dan Utrech. Kranenburg mengatakan, bahwa teori
negara hukum dari Kant masih sempi karena enegakkan hukum barulah sebagian dari
tujuan negara. Tujuan negara itu banyak, hal mana dapat terlihat dari
departemen yag ada dalam negara. Departemen yang satu dengan yang lainnya harus
harmonis. Sementara itu, Utrech mengutarakan bahwa negara dalam melindungi hak dan
kebebasan warganya tidak anya bersikap pasif, melainkan harus bersikap aktif
misalnya membatasi persangan dalam ekonomi, menatur distribusi baang konsumi,
mendirikan sekolah, memperhatikan kesehatan umum sehingga keadilan sosial dapat
terjamin. Intinya bahwa semua aktivitas negara ditujukan peda pemenuhan
kesejahteraan bersama umat manusia (Max Boli Sabon, 1998: 94).
Berdasarkan perbedaan pandangan itu, dikenal dua macam
teori negara hukum, yaitu negara hukum dalam arti luas seperti ang diajarkan
oleh Kranenburg dan Utrech, dan negara ukum dalam arti sempit seperti yang
diajarkan oleh Iimanuel Kant. Disamping itu, kita juga mengenal hukum dalam
arti formal negara hukum dalam arti material (Max Boli Sabon, 1998: 95).
II.
ABAD 19
- Kaum Sosialis
Menurut kaum sosialis, tujuan negara adalah memberikan
kebahaiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi tiap manusia. Hal ini dapat
terwujud jika setiap anusia mempunyai mata pencahariaan yag layak, rata adanya
jaminan bahwa hak asasi dan kebebasan manusia tidak dilanggar (Max Boli Sabon,
1998: 95). Oleh karena pemberian rejeki yang layak dan jaminan atas hak dan
kebebasan perlu diatur dengan undang-undang (Hasan Suryono, 2008: 31).
Keadilan sosial hanya dapat dicapai dengan cara mengubah perekonomian
liberal dengan perekonomian kekeluargaan dibawah pimpinan negara (Hasan
Suryono, 2008: 31). Cara perekonomian perseorangan dengan persaingan bebas
tanpa koordinasi sebagaimana dilakukan oleh kaum liberalis kapitalis, sering
mengakibatkan krisis ekonomidan menghancurkan kekayaan masyarakat, hingga tidak
sanggup melayani kepentingan segenap rakyat (Max Boli Sabon, 1998: 95). Untuk
melaksanakan itu, semua alat-alat produksi dan distribusi yang penting dan
menguasai hidup orang banyak harus dimiliki oleh negara (Hasan Suryono, 2008:
31).
- Kaum Kapitalis
Menurut kaum kapitalis, tujuan negara adalah mencapai
kebahagiaan warga negara sendiri, sehingga kebahagiaan untuk semua dapat
tercapai. Prinsip dasar kaum kapitalis bahwa tiap-tiap orang lebih berbakti
kepada masyarakat jika masing-masing mencoba mencapai tujuannya
sendiri-sendiri. Sesuai dengan fasafah itu, kaum kapitalis memperjuangkan gerak
hidup yang bebas (liberal) dengan persaingan yang bebas dalam rangka tata
susila dan undang-undang (Max Boli Sabon, 1998:96).
Perekonomian yang bebas menimbulkan terbentuknya
sumber-sumber mata pencaharian. Dengan demikian, terjadi pembagian pekerjaan di
dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan bertambahnya kekayaan masyarakat
itu (Max Boli Sabon, 1998: 96).
Menurutnya, kebahagiaan semua orang hanya dapat dicapai
jika tiap-tiap orang telah mencapai kebahagiannya sendiri-sendiri. Maka kaum
kapitalis berpola hidup bebas.
Perekonomian kaum kapitalis adalah bebas sehingga
kepentingan diri sendiri yang akan mendorong perkembanan di lapangan produksi
dan akan menimbulkan terbukanya sumber-sumber mata pencaharian. Kaum liberal
kapitalis berpendapat kebahagiaan dan kesejah teraan masyarakat harus dicapai
lewat politik dengan sistem liberal dan persaingan bebas. Dengan sistem
perekonomian yang bebas, terbuka peluang dan kesempatan kerja yang lebih luas
dan akan mempunyai dampak bertambahnya pendapatan rakyat (Hasan Suryono, 2008:31).
- Teori Theokratis
Tujuan negara untuk mencapai penghidupan dan kehidupan
aman tenteram dengan taat kepada Tuhan. Pemimpin negara menjalankan kekuasaan
Tuhan yang diberikan kepadanya kekuasaan dan hukum negara hanya berlaku selama
ia mewujudkan keadilan dan kebaikan bersama masyarakat (Hasan Suryono,
2008:31).
- Teori Negara Kesejahteraan
Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum,
negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai
tujuan bersama yaitu masyarakat bahagia, makmur, dan berkeadilan sosial (Hasan
Suryono, 2008:31)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bedasarkan teori tujuannegara diatas, maka dapat diambil
suatu garis besar tentang tujuan negara secara umum yaitu untuk memerdekakan
warga negaranya, menciptakan kemakmuran rakyat, menciptaan perdamaian dunia
dengan dibentuknya undang-undang guna mengatur HAM, keadilan sosial dengan
demikian tercipta kehidupan yang baik dan harmonis.
DAFTAR
PUSTAKA
Busroh Abu Daud.1989. Ilmu Negara.
Palembang. Bumi Aksara.
Boli Sabon Max. 1989. Ilmu Negara.
Jakarta. Gramedia.
Soehino. 2005. Ilmu Negara.
Yogyakarta. Liberty. Cetakan kelima.
Suryono Hasan. 2008. Ilmu Negara
(Suatu Pengantar ke Dalam Politik Hukum Kenegaraan). Surakarta. UNS Press.
Cetakan ketiga.
materi bagus tapi gk bisa di copy sama aja boong
ReplyDelete