Anda Ingin, Anda Yakin, maka Itu MUNGKIN...

Monday 30 April 2012

Corak Hukum Adat dan Masyarakat Hukum adat


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Hukum pada umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama atau : keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum mengatur hubungan hukum. Hubungan hukum itu terdiri dari ikatan-ikatan antara individu dan masyarakat dan antarindividu itu sendiri. Ikatan–ikatan itu tercermin pada hak dan kewajiban (Sudikno Mertokusumo.--.40). dengan demikian dalam mempelajari hukum tidak terlepas dari masyarakat. Hukum dibuat untuk kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Keunikkan masyarakat Indonesia ini yang memiliki beraneka ragam suku adat budaya memiliki suatu aturan khusus yang tidak tertulis yang berasal dari adat-adat yang ada yang sekarang dikenal dengan hukum adat. Secara singkatnya hukum adat adalah aturan kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. Hukum adat menjadi sumber hukum yang kedua dalam peraturan perundangundangan.


Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar pikiran yang berbeda dengan dasar pikiran dan  kebudayaan barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus dapat menyelami dasar alam pikiran pada masyarakat Indonesia. Seperti halnya hukum yang tidak terlepas dari masyarakat, begitu pula hukum adat juga terdapat masyarakat hukum adat yang bermacam-macam. Untuk membedakan hukum adat barat dengan Indonesia atau untuk membedakan masyarakat hukum biasa dengan masyarakat hukum adat maka perlu diketahui corak-corak hukum adat tersebut. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai corak-corak hukum adat dan juga masyarakat hukum adat di Indonesia.

B.     Tujuan

1.      Mengerti dan kemudian bisa memahami corak-corak hukum adat di Indonesia.

2.      Mengerti dan memahami masyarakat hukum adat di Indonesia untuk lebih mendalam dalam mempelajari hukum adat.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Corak Hukum Adat

Corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.

F.D. Hollemen, yang pernah menjabat gurubesar dalam mata pelajaran hukum adat di Leiden dan yang menjadi pengganti Van Vollenhoven disana, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in het Indonesische rechtsleven., menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia yang hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan. Pertama, sifat religio magis, kedua, sifat komun, ketiga, sifat contant dan keempat, sifat konkrit (visuil).

1. Bercorak Relegiues- Magis

Masyarakat adat di Indonesia pada dasarnya biasanya berfikir serta merasa dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis) yang mengisi.

Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.

Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.

Arti Relegieus Magis adalah : bersifat kesatuan batin, ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib, ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya, percaya adanya kekuatan gaib, pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang, setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus, percaya adnya roh-roh halus, hatu hantu yang menempati alam semesta, seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya, Percaya adanya kekuatan sakti. Adanya beberapa pantangan-pantangan.

2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan

Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan. Holleman, yang pendapatnya dikutip koentjaraningrat, mengemukakan, bahwa sifat komunal (commune trek”) – dalam hukum adat – berarti bahwa kepentingan individu dalam hukum  adat selalu diimbangi oleh kepentingan umum, bahwa hak-hak individu dalam hukum adat diimbangi oleh hak-hak umum. Dengan mentalitet itu, segala penilaian, pembuatan keputusan dan tekanan dalam hukum adat terletaklah dalam tangan desa, masyarakat adat. Keseluruhan, masyarakat, adalah yang kuat-kuasa, menentukan segala, memberi arah kepada segala tindak-tanduk.

Secara singkat arti dari Komunal adalah : manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala perbuatannya. Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Hak subyektif berfungsi sosial, Kepentingan bersama lebih diutamakan, Bersifat gotong royong. Sopan santun dan sabar, Sangka baik dan saling hormat menghormati.

3.      Bercorak Kontan :

Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.

4.      Bercorak Konkrit

Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

            Adapun hal yang kedua dari dasar cara berfikir dalam hukum adat adalah suatu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya sehari-hari masih sangat tergantung pada tanah atau alam pada ummumnya. Dalam masyarakat-masyarakat semacam, selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individuil.

Soepomo mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:

1.        Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat, merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;

2.        Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;

3.        Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.

4.        Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).

Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat:

1.        Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;

2.        Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;

3.        Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama;

4.        Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat.

Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:

1.        Tradisional; artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.

2.        Keagamaan (Magis-religeius); artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3.        Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jw).

4.        Kongkrit/ Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak, terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum)

5.        Terbuka dan Sederhana;

6.        Dapat berubah dan Menyesuaikan;

7.        Tidak dikodifikasi;

8.        Musyawarah dan Mufakat;

B.     Masyarakat Hukum Adat

Menurut rumusan Ter Haar masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupaun tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

Selanjutnya dalam internasional Konvesi ILO 169 tahun 1989 merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam dinegara-negara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominyammembedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus. Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas (Martua Sirait, Chip Fay dan A. Kusworo. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 24. Hal: 5)

Struktur Masyarakat Hukum Adat

1.      Berdasar Genealogis (keturunan)

Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis (menurut azas kedarahan (keturunan) ialah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama. Dengan kata-kata lain: seseorang menjadi anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau menganggap diri keturunan dari seorang ayah-asal (nenek-moyang laki-laki) tunggal - melalui garis keturunan laki-laki – atau dari seorang ibu-asal (nenek moyang perempuan) tunggal-  melalui garis keturunan perempuan - dan dengan demikian menjadilah semua anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan itu suatu kesatuan dan tunduk pada peraturan-peraturan hukum (adat) yang sama.

Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis ini, kita mengenal tiga macam (type) pertalian keturunan, yaitu:

a.       Pertalian keturunan menurut garis laki-laki (Patrilineal), hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Batak, orang Bali, orang Ambon, nias, sumba

b.      Pertalian keturunan menurut garis perempuan (Matrilineal), hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Minangkabau, orang Kerinci, orang Semendo.

c.       Masyarakat hukum adat keibu-bapaan (Parental) yang dalam bahasa Indonesia disebut rumpun yang merupakan kesatuan yang menjadi gabungan dari sejumlah gezin-gezin di Kalimantan. Selain itu contohnya dalam Suku Jawa, sunda, aceh, dayak

Dalam masyarakat Indonesia masih ada lagi dua jenis landasan mempersatukan orang berdasarkan keturunan, yaitu garis keturunan yang dalam bahasa Belanda disebut : altenerend, dan garis keturunan yang dalam bahasa Belanda pula disebut : dubbel-unilateraal. Kedua garis keturunan ini merupakan bentuk-bentuk istimewa dalam menarik garis keturunan, yang berasal dari –yaitu  yang dalam fase permulaannya terdapat dalam – masyarakat hukum adat kebapaan.

Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian keturunan menurut suatu garis altenered adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya menarik garis keturunan berganti-ganti secara bergiliran melalui garis ayah maupun melalui garis ibu sesuai dengan bentuk perkawinan yang dialami oleh orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur, kawin semendo maupun kawin semendorajo-rajo (Rejang).

Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian keturunan menurut garis dubbel-unilateral  adalah masyarakat hukum adat yang para angotanya menarik garis keturunan melalui garis ayah dan garis ibu jalin-menjalin, dan hal itu sesuai dengan pandangan dari mereka yang bersangkutan dan tergantung pada hal apakah ia laki-laki atau perempuan (Timor).

2. berdasar Teritorial (wilayah)

Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial  (lihatlah diatas tadi), yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berazaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu, dan oleh sebab itu merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, karena ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggal mereka. Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang – yaitu anggota masing-masing masyarakat tersebut – dengan tanah yang didiami sejak kelahirannnya, yang didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh neneknya, yang dialami oleh nenek moyangnya, secara turun-temurun ikatan dengan tanah menjadi inti azas teritorial itu.

Teranglah, meningglakan tempat tinggal bersama lingkungan daerah untuk sementara waktu, tidaklah membawa hilangnya keangotaan masyarakat, dan, sebaliknya, orang asing (orang yang berasal dan datang dari luar lingkungan-daerah) tidak dengan begitu saja diterima dan diangkat menurut hukum adat menjadi anggota masyarakat hukum adat, yaitu menjadi teman segolongan, teman hidup sedesa, seraya mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota sepenuhnya (misalnya, berhak ikut-serta dalam rukun desa). Supaya dapat menjadi anggota penuh masyarakat hukum adat, maka orang asing berstatus pendatang.

a.       Masyarakat hukum desa

Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup, dan sistim kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama dan yang, oleh sebab itu, merupakan suatu kesatuan suatu tata-susunan, yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak diluar wilayah desa yang sebenarnya, yang lazim disebut teratak atau dukuh, tetapi yang juga tunduk pada penjabat kekuasaan desa dan, oleh sebab itu, baginya juga merupakan pusat kediaman. Contoh-contoh adalah desa-desa di Jawa dan Bali.

b.      masyarakat hukum Daerah

Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial yang melingkupi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masingnya tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri tersendiri. Biarpun masing-masing masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri, masih juga masyarakat hukum desa tersebut merupakan bagian yang tak terpisah dari keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari masyarakat, hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang lebih tinggi. Dengan kata-kata lain: masyarakat hukum desa itu merupakan masyarakat hukum bawahan yang juga memiliki harta benda, menguasai hutan dan rimba yang terletak diantara masing-masing kesatuan yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah, baik yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah, baik yang ditanami maupun yang ditinggalkan atau belum dikerjakan. Contoh-contoh adalah kuria di Angkola dan Mandailing kuria sebagai masyarakat hukum wilayah melingkupi beberapa huta marga di Sumatera Selatan marga sebagai masyarakat hukum wilayah melingkupi beberapa dusun.

 c. Perserikatan (beberapa kampung)

    Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial, yang melulu dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai-bagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. kerjasama itu dimungkinkan karena kebetulan berdekatan letaknya masyarakat hukum desa yang bersama-sama membentuk masyarakat hukum serikat desa itu.

Tetapi biarpun berdekatan letaknya masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu kebetulan, masih juga kerjasama tersebut adalah kerjasama yang bersifat tradisionil. Untuk dapat menjalankan kerjasama itu secara tersebut mempunyai pengurus bersama, yang biasanya (1) mengurus pengairan, (2) menyelesaikan perkara-perkara delik adat, (3) mengurus hal-hal yang bersangkut paut dengan keamanan bersama. Kadang-kadang, kerjasama ini diadakan pula karena ada (4) keturunan

Diantara tiga jenis masyarakat hukyum adat yang teritorial yang disebut diatas tadi, maka yang merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa, huta dan dusun. Hal ini ditinjau dari baik segi organisasi sosial maupun dari perasaaan perikatan yang bersifat tradisionil.

            Segala aktivitast masayarakat hukum desa dipusatkan dalam tangan kepala desa, yang menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengetahui segala peraturan-peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang dipimpinnya itu – oleh sebab itu kepala desa adalah juga kepala adat (adathoofd).


BAB III

KESIMPULAN

Hukum adat Indonesia yang normative pada umumnya menunjukkan corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkrit dan visual, terbuka, dan sederhana, dapat berubah dan menyesuaikan, tidak di kodifikasi, musyawarah dan mufakat. Akhirnya, perlu dikemukakan pula bahawa faktor teritorial ikatan antara orang dengan tanah bukanlah faktor satu-satunya menentukan masyarakat hukum desa. Juga faktor genealogis adalah suatu faktor penting dan turut menentukan. Bahkan, pada permulaan tiap kelompok orang, yang kemudian merupakan masyarakat hukum desa itu, merupakan kesatuan hanya berdasarkan keturunan sama belaka. pada permulaan kelompok itu mengembara, hidup secara nomadis, dan yang menjadi ikatan satu-satunya adalah keturunan saja. Selanjutnya, lambat laun kelompok itu menetap disuatu daerah tertentu dan sesudah itu timbullah ikatan baru, yaitu ikatan antara kelompok itu dengan tanah yang didiaminya. Timbullah faktor teritorial. Proses teritorialisaai ini pada waktu sekarang sudah hampir terhenti. Sudah tentu pada waktu masih berjalannya, maka proses tersebut dipengaruhi oleh banyak hal seperti perkembangan kerokhanian serta pandangan-pandangan terhadap alam sekitar; pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat timbal-balik.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Bushar. 1984. Asas Asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita

Mertokusumo, Sudikno.--.Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty

Ragawino, Bewa .2008. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Bandung:--

Sirait, Martua dkk. Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam mengelola SDA Diatur.  Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 24


1 comment:

  1. Thanx infonya, mampir juga dblog ane.. hitamandbiru.blogspot.com

    ReplyDelete