Anda Ingin, Anda Yakin, maka Itu MUNGKIN...

Thursday 12 April 2012

Multikulturalisme Suku di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan.
Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus; atau kerana di antara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus; atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga dapat disebabkna karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan yang lain. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah suku bangsa, atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Konsep yang tercakup dalam istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bangsa juga.
Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki beraneka ragam suku bangsa. Keberadaan dari banyaknya suku bangsa tersebut akan menyebabkan konflik jika dari suku bangsa dan satunya tidak saling mengenal dan mencintai. Oleh karenanya di bawah ini akan diperkenalkan mengenai berbagai suku bangsa di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan multicultural suku?
2.      Bagaimana asal suku di Indonesia?
3.      Apa saja suku-suku yang ada di Indonesia?
C.    Tujuan
1.      Memahami maksud multicultural suku
2.      Mengetahui asal suku di Indonesia
3.      Mengetahui macam-macam suku yang ada di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Multikultural Suku
Istilah multikultur berasal dari kata multikultural, multi dan kultural, multi dan kebudayaan. Multikultur berasal dari kata multi dan kultur. Multi artinya banyak, dan kultur biasa disamakan dengan kata budaya. Dengan demikian kata multikultur bermakna budaya yang banyak atau keberagaman budaya. Kata multikultur dipergunakan untuk menyebut suatu masyarakat negara yang warga negaranya memiliki kebudayaan beragam, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan budaya diantara mereka.
Suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial lainnya. Menurut Koentjaraningrat (1996) suku bangsa adalah kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang khas, secara lengkap dikemukakan bahwa suku bangsa adalah golongan manusia yang terikat dengan kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan kebudayaan mereka sehingga kesatuan tidak ditentukan oleh orang luar melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan.
Bangsa Indonesia terbagi atas ratusan suku bangsa, yang masing-masing memiliki adat dan tradisi berbeda. Dari daftar sementara suku bangsa di Indonesia yang dikumpulkan, diperkirakan terdapat sekitar 360 kelompok suku bangsa.

B.     Asal Suku di Indonesia
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik, dan makanan khas.
Suku bangsa merupakan kumpulan kerabat (keluarga) luas. Mereka percaya bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Mereka juga merasa sebagai satu golongan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mempunyai bahasa dan adat istiadat sendiri yang berasal dari nenek moyang mereka. Dari mana asal nenek moyang bangsa Indonesia? Ada teori yang menyatakan penduduk Indonesia berasal dari daratan Cina Selatan, Provinsi Yunan sekarang. Ada juga teori “Nusantara.”

Menurut teori pertama Suku bangsa Yunan datang ke Indonesia secara bergelombang. Ada dua gelombang terpenting:
1.      Gelombang pertama terjadi sekitar 3000 tahun yang lalu. Mereka yang pindah dalam pe-riode ini kemudian dikenal sebagai rumpun bangsa Proto Melayu. Proto Melayu disebut juga Melayu Polynesia. Rumpun bangsa Proto Melayu tersebar dari Madagaskar hingga Pasifik Timur. Mereka bermukim di daerah pantai. Termasuk dalam bangsa Melayu Tua adalah suku bangsa Batak di Sumatera, Dayak di Kalimantan, dan Toraja di Sulawesi.
2.      Gelombang kedua terjadi sekitar 2000 tahun lalu, disebut Deutero Melayu. Mereka disebut penduduk Melayu Muda. Mereka mendesak Melayu Tua ke pedalaman Nusantara. Termasuk bangsa Melayu Muda adalah suku bangsa Jawa, Minang-kabau, Bali, Makassar, Bugis, dan Sunda.
Menurut teori “Nusantara” penduduk Indonesia tidak berasal dari luar. Teori ini didukung banyak ahli, seperti J.Crawfurd, K.Himly, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Gorys Keraf. Menurut para ahli ini penduduk Indonesia (bangsa Melayu) sudah memiliki peradaban yang tinggi pada bada ke-19 SM. Taraf ini hanya hanya dapat dicapai setelah perkembangan budaya yang lama. Hal ini menunjukkan penduduk Indonesia tidak berasal dari mana-mana, tetapi berasal dan berkembang di Nusantara.
Meskipun ada teori yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai nenek moyang yang sama, kenyataannya ada beraneka ragam suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah suku bangsa di Indonesia. Diperkirakan ada 300 sampai 500 suku bangsa yang tinggal di Indonesia. Perbedaan jumlah ini dikarenakan perbedaan para ahli dalam mengelompokkan suku bangsa. Sedangkan keragaman suku bangsa di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
1.      perbedaan ras asal,
2.      perbedaan lingkungan geografis,
3.      perbedaan latar belakang sejarah,
4.      perkembangan daerah,
5.      perbedaan agama atau kepercayaan, dan
6.      kemampuan adaptasi atau menyesuaikan diri.

C.    Macam-Macam Suku di Indonesia
Dalam bukunya, Koentjaraningrat menjelaskan beberapa suku yang ada di Indonesia. Diantaranya adalah:
1.      Kebudayaan penduduk Kalimantan Tengah
Sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri dari orang Dayak yang terdiri atas beberapa suku bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma’anyam, Ot Siang, Lawangan, Katingan , dan lain-lain. Dari beberapa suku di Kalimantan Tengah tersebut yang paling maju adalah suku Ngaju, karena dari kalangan merekalah kini ada paling banyak orang terpelajar dan orang yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan di Kalimantan Tengah.
Orang-orang Dayak di Kalimantan tengah mendiami desa-desa yang terletak jauh satu dari yang lain, ditepi-tepi atau di dekat sungai. Komunikasi antara satu desa dengan desa yang lainnya pada umumnya melalui air. Bentuk rumah yang paling umum kini terdapat di Kalimantan Tengah adalah rumah-rumah berbentuk lebih kecil yang terbuat dari kayu dan bertonggak tinggi sebagai kakinya yang didiami oleh satu sampai lima kelarga batih yang berkerabat, atau biasa disebut dengan sebutan rumah lewu’.
Mata pencaharian masyarakat Kalimantan Tengah adalah berladang, berburu, mencari hasil hutan dan mancari ikan. System kekerabatan orang Dayak di Kalimantan Tengah adalah berdasarkan prinsip keturunan ambilineal, sedangkan hokum adat Kalimantan adalah hokum setempat yang tidak tertulis, sanksi dari hokum adat kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian.
2.      Kebudayaan Minahasa
Orang Minahasa adalah orang-orang yang mendiami bagian timur lsut jazirah Sulawesi Utara. Kota Madya Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, mempunyai penduduk orang pribumi Minahasa, selain itu pendatang dari China, Arab, dan Eropa.
Mata pencaharian masyarakat Minahasa adalah bercocok tanam. System kekerabatan orang Minahasa adalah adat kebebasan untuk menentukan jodoh sendiri. Sesudah menikah sewajarnya pengatin baru tinggal secara neolokal pada tempat kediaman yang baru dan tidak mengelompok sekitar tempat kediaman kerabat suami atau kerabat istri.
System organisasi social yang terpenting di Minahasa adalah dalam desa, baik dari aspek pemerintahan maupun sebagai pusat aktivitas kemasyarakatan adalah kampong. Kampong sebagai suatu kesatuan administrative dipimpin oleh hokum tua.
3.      Kebudayaan Penduduk Kepulauan Sebelah Barat Sumatra
Kelompok-kelompok kepulauan itu adalah Simalur, Banyak, Nias, Batu, Mentawai dan Enggano. Penduduk kepulauan Simalur dan Banyak, amat terpengaruh oleh adat-istiadat Aceh dan umumnya bisa bicara bahasa Aceh, tetapi mereka mempunyai bahasa sendiri. Penduduk dari Nias berlandaskan kepada suatu kebudayaan megalithik sejak zaman perunggu, mereka mengembangkan suatu kebudayaan yang mempunyai suatu kepribadian sendiri dengan suatu seni bangunan yang indah. Sedangkan penduduk Mentawai seolah-olah terhindar dari kebudayaan megalithik serta teknologi bertanam padi. Mereka tidak pandai membuat tembikar serta menenun dan mereka tidak mengunyah sirih. Penduduk Enggano juga demikian, mereka mempunyai banyak persamaan dalam kebudayaannya. Yang berbeda adalah: pertama, orang Enggano mengucapkan suatu bahasa yang berbeda dari bahasa Mentawai. Kedua, orang Enggano tidak mengenal adat pencacahan kulit seperti orang Mentawai yang mempunyai sistem kekerabatan matrilineal.
Dalam bab ini akan kita akan dipusatkan kepada kebudayaan penduduk Nias dan Mentawai yang menunjukkan bagaimana dua kebudayaan yang berdekatan tapi menunjukkan ciri-ciri yang amat berbeda
a.       Kebudayaan Nias
Penduduk Nias merupakan pulau terbesar dari seluruh deret dan terpengaruh kebudayaan Hindu maupun Islam. Mereka mengembangkan kebudayaan megalithik yang bukan berdasarkan adat pengurbanan kerbau melainkan babi.
Asal dari orang Nias atau Ono Niha yang mempunyai warna kulit yang lebih kuning dari orang Indonesia. Bahasa Nias termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia, tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya sifatnya vokalis, yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun akhir kata. Jumlah penduduk dalam tahun 1967 sekitar 875.000 jiwa.
Orang Nias mendiami kabupaten Nias yang terdiri dari satu pulau besar utama dan beberapa pulau-pulau kecil yang berada disekitarnya seperti pulau-pulau Hinako di Barat, pulau-pulau Senau dan Lafau di Utara, pulau Batu di Selatan dan lain-lain.
Mata pencaharian hidup orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada umumnya bercocok tanam, sedangkan di daerah pantai mereka pada umumnya berkebun kelapa. Mata pencaharian tambahan orang Nias adalah berburu, menangkap ikan di sungai, beternak dan pertukangan.
Kelompok kekerabatan orang Nias yang terkecil adalah sangambato yaitu keluarga batih, tetapi kelompok yang penting adalah sangambato sebua, yakni keluarga-luas virilokal (virilokal extended familiy), yang terdiri dari keluarga batih senior ditambah lagi dengan keluarga-keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa suatu rumah tangga ( household), dan suatu kesatuan ekonomis.
Masyarakat Tano Niha sudah mengenala pelapisan masyarakat yang bersifat exsklusif. Mobilitas hanya terjadi dalam lapisan yaitu antar golongan saja. Sedangkan pengendalian sosial di Nias berupa hukum adat yang sampai sekarang masih hidup berdampingan dengan hukum modern dari RI. Sanksi hukum adat kebanyakan berupa denda (fogau), yang berupa babi, emas atau uang.
b.      Kebudayaan Mentawai
Jumlah penduduk kepulauan Mentawai sudah lebih dari 20.000 orang. Penduduk Mentawai antara lain orang-orang yang berasal pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan. Semua keempat pulau Mentawai masih tertutup padat dengan hutan rimba tropik dan banyak diantaranya masih bersifat rimba primer. Dari deret pegunungan yang membujur di tengah-tengah keempat pulau mengalir berpuluh-puluh sungai kecil. Tiap-tiap kampung biasanya terdiri dari tiga sampai lima wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat kepada satu rumah panggung yang besar atau uma yang berfungsi sebagi balai pertemuan umum untuk upacara-upacara bersama.
Mata pencaharian hidup orang Mentawai adalah berkebun, menangkap ikan, dan yang exklusif dikerjakan laki-laki adalah berburu.
Sedangkan kesatuan sosial yang paling penting dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat orang Mentawai adalah keluarga-batih dimana seorang laki-laki dan seorang wanita hidup bersama sebagai suami-isteri.
Orang Mentawai tidak lagi menjalankan upacara menghormati roh nenek moyang, tetapi bahwa ia melakukan pesta suci di dalam hubungan dengan uma itu, sama saja seperti kita kalau misalnya mengadakan selamatan untuk meresmikan pembangunan baru dari rumah kita.Di antara orang Mentawai masih ada juga yang pergi ke dukun atau sikerei, walaupun di desa tetangga yang jaraknya kira-kira sepuluh kilometer ada tempat tinggal seorang menteri kesehatan atau dokter.
Adat istiadat Mentawai sudah mengalami disintegrasi mulai 1920, tetapi masih banyak unsur-unsur masih bertahan juga.
4.      Kebudayaan Penduduk Pantai Utara Irian Jaya
Suatu desa di Daerah Pantai Utara terdiri dari beberapa deret rumah-rumah di atas tiang yang tersusun rapi di kedua tepi dari suatu jalan tengah. Bangunan-bangunan pusat dari daerah desa dalah gereja.
Penempatan suatu rumah baru menurut adat istiadat orang desa Pantai Utara pada umumnya membutuhkan suatu pesta yang agak besar, bernama nuanyadedka, dengan adanya unsur penukaran pemberian antara kaum kerabat isteri si penghuni yang menolongnya dalam proses pembangunan rumah, dengan kaum kerabatnya sendiri ,yang justru menjadi tamu pada upacara itu.
Mata pencaharian hidup yang terpenting dari orang Bgu adalah meramu sagu (pom). Di daerah pedalaman di hulu-hulu sungai seperti daerah hulu Tor, pekerjaan mencari sagu merupakan pekerjaan wanita, tidaklah layak orang laki-laki campur tangan dalam urusan sagu. Pekerjaan orang laki-laki terutama dalah berburu, mencari hasil hutan dan sedikit berkebun, sedangkan mencari ikan adalah pekerjaan baik bagi orang laki-laki maupun wanita. Tanah untuk berkebun merupakan wilayah-wilayah tertentu di dalam hutan yang masing-masing ada di bawah hak ulayat kelompok-kelompok kekerabatan patrilineal atau fam yang tertentu. Mata pencahariaan yang membutuhkan uraian lebih luas adalah produksi kopra rakyat.
Sistem kekerabatan penduduk Pantai Utara yang dulu mungkin bersifat agak keras patrilineal ,sekarang bersifat kwasi-patrilineal, kelompok kekerabatannya yang terpenting adalah keluarga batih, rumah tangga kadang-kadang lebih besar dari keluarga batih, merupakan keluarga luas yang kecil, fam-fam yang secara resmi memegang hak ulayat atas wilayah-wilayah sagu dan bercocok tanam.
Penyakit kronis yang menghinggapi kehidupan komuniti di desa-desa pantai di Distrik Pantai Utara itu adalah penyakit tak ada kepemimpinan. Kehidupan komuniti orang penduduk desa-desa Pantai Utara tidak banyak dijiwai oleh gotong royong.
Secara resmi orang penduduk Pantai Utara beragama Kristen ,namun tanggapan mengenai dunia ghaib dan dunia akhirat masih banyak berasal dari religi mereka yang asli. Dalam kehidupan sehari-hari mereka nampak amat realistis, walaupun mereka tahu tentang adanya hal-hal seperti ilmu sihir pada penduduk pedalaman di hulu-hulu sungai, tahu tentang kepercayaan suangi yang dibawa oleh orang Ambon,tetapi kepercayaan tersebut tidak ada efeknya dalam kehidupan sosial maupun rohaninya.
Dalam kehidupan masyarakat penduduk desa Pantai Utara tidak ada upacara keagamaan besar-besaran.
5.      Kebudayaan Suku Ambon
Ambon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi Maluku. Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan berenang. Pulau Ambon merupakan pulau yang terletak di Kepulauan Maluku, di selatan Pulau Seram. Saat ini merupakan letak kota Ambon ibukota dari provinsi Maluku.
Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumah rumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batang-batang serta dahan-dahan yang telah kering.
Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal. Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitu kawin lari, kawin minta dan kawin masuk.
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.
Ditinhau dari keadaan iklim dan alamnya, potensi yang ada di Ambon ini adalah perikanan. Sistem masyarakat Ambon mempunyai beberapa bentuk organisasi adat yang cukup cocok untuk pembangunan, seperti organisasi pela dimana organisasi tersebut dibentuk oleh masyarakat suku Ambon yang biasanya bekerja sama dengan para petugas pembangunan masyarakat desa untuk memajukan dan memodernisasikan masyarakat di Ambon.
6.      Kebudayaan Flores
Pulau Flores merupakan salah satu pulau di Indonesia yang termasuk wilayah Propinsi NTT. Penduduknya terdiri dari beberapa sub suku bangsa, yakni orang Manggarai, orang Riung, orang Ngada, orang Nage-Keo, orang Ende, orang Lio, orang Sikka dan orang Larantuka. Meskipun terdiri dari banyak suku tetapi perbedaan diantaranya tidak terlalu besar dan kebudayaan Flores banyak diambil dari Suku Manggarai.
Desa-desa di Flires (Beo di Manggarai) dulu biasanya dibangun diatas bukut untuk keperluan pertanahan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan lingkaran dengan tiga bagian, yaitu depan (pa’ang), tengah (beo) dan belakang (ngaung). Setiap rumah ada bagian keramat yang ditimbun batu besar yang dianggap tempat roh-roh penjaga desa berada.
Mata pencaharian masyarakat Flores adalah bercocok tanam di ladang dan beternak hewan. Para warga laki-laki biasanya membuka lahan bersama dihutan. Hewan yang menjadi peliharaan yaitu kerbau dan kuda karena dapat digunakan dalam upacara-upacara adat, sebagai mas kawin, untuk menjadi lambang kekayaan dan untuk membantu pekerjaan.
Perkawinan yang umum dilakukan sebagaian besar masyarakat Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda dan pemudi. Kalau antara pemuda dan pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama maka keluarga pemuda melamar (cangkang) pada keluarga pemudi. Keluarga si gadis akan meminta mas kawin (paca) yang tinggi berupa kerbau dan kuda sedangkan mereka juga akan memberi imbalan yang besar pula. Pada Masyarakat Flores menganut klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya disebut Fam antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira. Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga atau di ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali.
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di Flores yang kuno ada suatu sistem strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang Manggarai misalnya ada lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang budak. Pada orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan orang gae kisa dan juga lapisan orang budak (azi ana).
Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat di Flores beragama Katolik. Kepercayaan Dinamisme juga berkembang di Flores yaitu menganggap sesuatu benda mempunyai kekuatan gaib. Kepercayaan di daerah ini erat hubungannya dengan kultus pertanian dan arwah nenek moyang. Dengan hubungannya kepercayaan baru dan agama baru di samping kepercayaaan tradisional, sering timbul dulisme, disatu pihak berdasarkan agama yang dianut, di lain pihak didasari kepercayaan tradisional di dalam upacara-upacara yang dilaksanakan.
7.      Kebudayaan Jawa
Daerah kebudayaan jawa yang luas meliputi seluruh bagian tengan dan timur dari pulau jawa.  Sesungguhnya demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah kejawen.  Sehubungan dengan hal itu maka dalam seluruh rangka kebudayaan jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan mataram sebelum terpecah pada tahun 1755 yaitu yogyakarta dan surakarta merupakan pusat dari kebudayaan tersebut.  Banyak daerah tempat kediaman orang jawa terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam kebudayaannya.
Mata pencaharian orang jawa berasal dari pekerjaan-pekerjaan kepegawaian, pertukangan dan perdagangan.  Bertani merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat orang jawa di desa-desa.  Didalam melakukan pertanian ini mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat kebun kering dam ada juga yang di buat sawah.
Sistem kekerabatan orang jawa itu berdasarkan prinsip keturunan bilateral.  Sedangkan sistem istilah kekerabatannya menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan.  Semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah dan ibu, beserta isteri-isteri maupun suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu istilah siwa atau uwa.  Adapun adik laki-laki dari ayah dan ibu diklasifikasikan kedalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin menjadi paman bagi para adik laki-laki dan bibi bagi para adik wanita.
Di dalam kenyataan hidup masyarakat orang jawa, orang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya.  Di samping keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara.  Dalam kerangka susunan masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan atas gensi-gensi itu, kaum priyayi dan bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah.
Agama islam umumnya berkembang baik dikalangan masyarakat orang jawa.  Hal ini tampak nyata pada bangunan-bangunan khusus untuk tempat beribadat orang-orang yang beragama islam.  Walaupun demikian tidak semua orang beribadat menurut agama islam sehingga berlandasan atas kriteria pemelukan agamanya, ada yang disebut islam santri dan islam kejawen.  Kecuali itu masih ada di desa-desa jawa orang-orang pemeluk agama nasrani atau agama besar lainnya.
8.      Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia
Orang tionghoa yang ada di indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah di negara cina, tetapi terdiri dari berbagai suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu fukien dan kwangtung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya.  Setiap imigran indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya.  Ada empat bahasa cina di indonesia antara lain hokkien, teo-chiu, hakka dan kanton yang demikian besar perbedaannya sehingga pembicara dari bahasa yang satuy tidak dapat mengerti pembicara dari yang lain.
Sebagian besar orang tionghoa di indonesia sekarang memang hidup dari perdagangan dan hal ini suatu fakta terutama di jawa.  Sebagian besar dari mereka adalah orang hokkien.  Orang hakka di jawa banyak yang menjadi pedagang dan pengusaha industri kecil.  Orang kanton dan kwong fu di jawa untuk lebih dari 40% mempunyai perusahaan-perusahaan industri kecil dan perusahaan dagang bumi.
Karena sebagian besar orang dari tionghoa di indonesia tinggal di kota-kota maka hanya dibicarakan disini perkampungan tionghoa di kota-kota.  Perkampungan orang tionghoa di kota-kota itu biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang pusat pertokoan.  Deretan-deretan rumah itu merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya tidak mempunyai pekarangan.  Ciri khas dari rumah-rumah orang tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran yang berbentuk naga.  Pada rumah-rumah orang yang berada terdapar banyak ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok.
Sistem kekerabatan orang tionghoa.  Perkawinan itu menutup suatu masa tertentu didalam kehidupan seseorang yaitu masa bujang dan masa hidup tanpa beban keluarga.  Orang cina baru di anggap dewasa bila ia telah menikah.  Karena itulah upacara perkawinan harus mahal, rumit dan agung untuk membuat perkawinan itu menjadi suatu kejadian yang penting dalam kehidupan seseorang.
Dalam masyarakat orang tionghoa di indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya.  Namun perbedaan ini tidaklah sangat mencolok karena golongan buruh ini tidak menyadari akan kedudukannya.  Hal ini disebabkan karena sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan. 
Di indonesia umumnya orang menganggap bahwa orang tionghoa itu memeluk agama budha.  Memang di cina sebagian besar rakyatnya memeluk agama budha, tetapi di indonesia orang tionghoa adalah pemeluk agama budha, kung fu tse dan tao, kristen, katolik atau islam.  Pengajaran kung fu tse memang sering di pandang sebagai agama bahkan dalam abad-abad ke 7 dan ke 8 ajaran kung fu tse pernah menjadi agama pejabat-pejabat sipil negara dan kaum cendikiawan di negara cina.
Pendidikan bagi orang-orang tionghoa pada masa pemerintahan belanda selalu di anak tirikan, bahkan apabila ingin memasuki bangku sekolah harus mengerti bahasa belanda dan di wajibkan membayar sejumlah uang sekolah yang tinggi. 
9.      Kebudayaan Bugis - Makassar
Kebudayaan Bugis – Makassar adalah kebudayaan dari suku-bangsa Bugis-Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan suatu provinsi, ialah provinsi Sulawesi Selatan, yang sekarang terdiri dari 23 kabupaten, di antaranya dua buah kota – madya. Adapun penduduknya berjumlah lebih dari 5.600.000 orang pada tahun 1969. Penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa ialah: Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar.
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan orang Makassar berbahsa Mangasara. Huruf yang dipakai dalam naskah – naskah Bugis-Makassar kuno adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang asal dari huruf Sanskerta. Sejak permulaan abad ke – 17 waktu agama Islam dan kesusastraan Islam mulai mempengaruhi Sulawesi Selatan ,maka kesusastraan Bugis dan Makassarditulis dalam huruf Arab, yang disebut aksara serang.
Sekarang naskah – naskah kuno dari orang Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang ditulis diatas kertas dengan pena atau ijuk (kallang) dalam aksara lontara atau dalamaksara serang. Diantara buku- buku terpenting dalam kesusastraan Bugis dan Makassar adalah buku Sure Galigo.
Desa-desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan – kesatuan administratif, gabungan – gabungan sejumlah kampung – kampung lama, yang terdiri dari sejumlah kampung-kampung lama yang disebut dengan desa gaya baru. Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang matowa dengan kedua pembantunya yang disebut suriang atau parenung. Suatu gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis dan pa’rasangan dalam bahsa Makassar.
Bagian- bagian rumah pada suku Bugis-Makassar : rakkeang, ale-bola, awasao.
Jika digolongkan menurut lapisan sosial, maka dibedakan menjdi 3 : sao-raja, sao-piti’, bola.
Ada beberapa tatacara juga untuk mendirikan rumah yang diatur pada suku Bugis- Makssar ini.
Penduduk Sulawesi Selatan adalah pada umumnya petani seperti biasa. Tetapi petani tradisional yang masih menggunakan teknik peladangan. Adapun yang dekat denga pantai menjadi seorang nelayan. Adapun kerajinan yang khas dari Sulawesi Selatan ini adalah tenunan sarung sutera dari Mandar dan Wajo dari tenunan sarung Samarinda dan Bulukumba.
Adat Bugis – Makssar menetapkan perkawinan yang ideal, yaitu :
a.       Perkawinan assialang marola ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah maupun ibu.
b.      Assialana memang ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
c.       Ripaddeppe’ mabelae ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat tiga, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Ada adat yang dilangsungkan untuk suatu perkawinan, yaitu : mappuce- puce  massuro madduppa. Perkawinan ini disebut silariang. Tetapi ada juga kawin lari yang terjadi dan tentunya ada beberapa perkawinan yang dilarang.
Tiga lapisan pokok yang ada di Bugi-Makssar (Freidericy), yaitu :
a.       Anakarung yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja
b.      To-maradeka Tu-mara-deka yaitu lapisan orang yang merdeka yang merupakan bagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan.
c.       Ata yaitu lapisan orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.
Sistem adat keramat dari orang Bugis – Makassar berdasarkan atas lima unsur pokok yaitu :
1.   Ade’
2.   Bicara.
3.   Rapang
4.   Wari’
5.   Sara’
Kira-kira 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain –lain atau dari orang Toraja.
10.  Kebudayaan Bali
Suku- bagsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama.
Perbedaan pengaruh dari Jawa-Hindu di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dulu menyebabakan adanya dua bentuk masyarakat di Bali yaitu Bali-Aga dan Bali-Majapahit. Orang Bali-Aga biasanya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Simbiran, Cempaga Sidapata, Pedawa, Tigawasa, di kbupaten Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang ada pada umumnya diam di daerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk pulau Bali.
Di wilayah pegunungan terletak kuil-kuil (pura) yang dianggap suci oleh orang Bali, seperti Pura Pulaki, Pura Batukau, yang paling utama adalah Pura Besakih yang letaknya dikaki gunung Agung.
Bahasa yang digunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, hanya saja ada pembeda untuk berbicara dengan orangtua, basa alus. Memang bahasa pada zaman Bali kuno lebih banyak menggunakan bahasa sanskerta. Di bali pun berkembang kesusastraan lisan dan tulisan yang baik dalam bentuk puisi maupun prosa. 
Di samping kelompok-kelompok kerabat patrilineal yang mengikat orang Bali berdasarkan atas prinsip keturunan, ada pula bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan atas wilayah, ialah desa. Desa-desa adat di tanah datar biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas, sering terdaoat diferensiasi ke dalam kesatuan adat yang khusus di dalamnya yang disebut Banjar. Sistem keanggotaan banjar tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di dalam banjar itu juga. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut klian banjar (kliang).
Sebagian besar orang di Bali menganut agama Hindu-Bali. Walaupun demikian, ada pula suatu golongan kecil orang-orang Bali yang menganut agam Islam, Kristen, dan katolik.
Proses perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali amat cepat, dan telah mendapat efek ke sendi-sendinya. Keketatan hukum adat mengenai sistem kasta dan klen sudah mulai kendor. Kaum terpelajar dan cendikiawan Bali tidak sempat lagi untuk mengikuti detail adat-istiadat sehingga timbul penyederhanaan dalam sistem upacara keagamaan. Dalam masa pembangunan ekonomi pun, Bali dijadikan suatu daerah pariwisata yang utama. Sektor kepariwisataan telah memberi lapangan kerja pada banyak orang di Bali, sehingga masyarakat mengalami transisi pembangunan dan proses modernisasi.
11.  Kebudayaan Sunda
Secara antropologi-budaya bahwa yang disebut suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah  Jawa Barat, yang sering juga disebut Tanah Pasundan (Tatar Sunda).
Desa di Jawa Barat dilihat dari suatu kesatuan administratif terkecil yang menempati tingkat paling bawah dalam susunan pemerintahan daerah. Di seluruh Jawa Barat sistem pemerintahan desan itu pada garis besarnya sama, hanya dalam hal sebutan bagi pejabat-pejabatnya terdapat perbedaan. Misal di Desa Bojongloa daerah Sumedang, dikepalai oleh seorang kuwu yang dipilih oleh rakyat. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya kuwu didampingi oleh seorang jurutulis, tiga orang kokolot, seorang kulisi, ulu-ulu, dan amil.
Dilihat dari struktur sosial masyarakat, ada tiga unit sosial yang menjadi pusat kehidupan ekonomi, yaitu kota, desa, dan darah perkebunan. Dilihat dari sudut ekonomi, maka kota-kota merupakan pusat pengambilan bahan-bahan mentah dari daerah pedesaan atau transito bahan-bahan mentah untuk diteruskan menuju kota-kota besar. Di Jawa Barat, hak milik perseorangan atas tanah (balong) telah ada sejak dulu, namun masih juga terdapat tanah milik komunal, yang disebut tanah titisara (atau kanomeran di Ciamis, kacahcahan di Majalengka, dan kasikepan di Cirebon). Terdapat juga hak makai tanah milik komunal untuk pamong desa atau tanah bengkok (atau tanah kalungguhan di Ciamis, tanah kajaroan di Banten, tanah carik di Priangan Timur), dan terdapat pula tanah komunal yang dikhususkan bagi kuncen (penjaga makam keramat) yang disebut tanah awisan.
Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun-temurun oleh agama Islam. kedua unsur tersebut terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Misalnya perkawinan, dilakukan baik secara adat maupun agama Islam. Mengenai prinsip garis keturunan, sistem kekerabatan di Pasundan bersifat bilateral, yang berarti garis keturunan yang menghitungkan kekerabatan melalui orang laki-laki atau wanita. Adapun sistem kekerabatan pada orang Sunda menunjukan ciri-ciri bilateral dan generasional. Dilihat dari sudut Ego, orang Sunda mengenal istilah untuk tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah, ialah:
Ke atas                                          Ke Bawah
1.   Kolot                                       1. Anak
2.   Embah                                     2. Incu
3.   Buyut                                      3. Buyut
4.   Bao                                         4. Bao
5.   Janggawareng                                     5. Janggawareng
6.   Udeg-udeg                              6. Udeg-udeg
7.   Gantung siwur                                    7. Gantung siwur
Agama di sebagian orang Sunda adalah agama Islam, tetapi di dalam kehidupan keagamaan, orang Sunda sebagai juga pada suku-suku bangsa lain di Indonesia terdapat unsur-unsur yang bukan Islam, seperti kepercayaan kepada mite dan kepercayaan-kepercayaan agama yang diliputi oleh kekuatan gaib. Sejak tiga tahun terakhir ini, kehidupan agama di Jawa Barat dilakukan lebih intensif lagi, tujuan edukatifnya memberikan petunjuk dan pelajaran agama bagi pegangan hidup kerohanian. Disamping itu, aspek lain adalah untuk ketahanan rohaniah bagi menghadapi pengaruh-pengaruh ideologi lain ang pada dasarnya atheistis, seperti komunisme.
Sejak bangsa Indonesia merdeka, terjadi perubahan sosial yang besar dalam masyarakat Sunda. Timbulnya parttai politik sampaike desa menimbulkan pengelompokkan baru berdasarkan ideologi modern, yang memotong sistem pengelompokkan ideologi lama yang berdasarkan ikatan kekerabatan atau agama. Kemajuan dalam bidang pendidikan pun sangat cepat.
12.  Kebudayaan Aceh
Aceh merupakan provinsi yang paling ujung letaknya disebelah utara pulau sumatera. Luasnya 55.390 km2. Aceh dibagi dalam kedelapan daerah tingkat II (kabupaten) : aceh besar, pidie, aceh utara, aceh timur, aceh tengah, aceh tenggara, aceh barat dan aceh selatan.
Mengenai batas yang memisahkan aceh dari daerah Sumatra utara yang lain, tidak ada ketentuan yang dibuat oleh manusia, kecuali batas yang ditetapkan berdasarkan pertumbuhan daerah yag kemudian, diikrarkan oleh perjanjian antar daerah. Batas alam nya adalah sungai simpang kiri dibagian barat dan sungai tamiang disebelah timur bagian selatan.
Bahasa bahasa aceh seperti bahasa-bahasa lain di indonesia, bahsa aceh sendiri ada beberapa bahasa yang masing –masing pembicaraannya saling tidak dapat mengerti. Ini mungkin disebabkan antara lain karena bahasa-bahasa itu berkembanga melalui proses pemecahan dan isolasi yang lama anntara kelompok-kelompok yang mengucapkan bahasa-bahasa tersebut.
System huruf yang khas kepunyaan aceh asli zaman dahulu tidak ada. Tulisan – tulisan aceh menggunakan huruf arab melayu. Huruf ini dikenal setelah datangnya agama islam di aceh dan merupakan hurrf- huruf yang banyak dijumpain pada batu nisan raja-raja pasai seperti batu nisan sultan malikul saleh.
Pola perkampungan desa. Desa bagi orang aceh disebut gampong. Setiap gampong terdiri atsa kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain dan setiap desa mempunyai 50 sampai 100 buah.
Rumah orang aceh didirikan diatas tiang kayu atau bambu, berdasarkan atas kemampuan orang. Tujuannya semata-mata dulunya adalah untuk menghindari diri dari serangan binatang buas dan banjir. Rumah aceh didirikan berkelompok dan rumah-rumah yang dengan penghuni yang mempunyai hubungan kekerabatan dibangun berderet-deret, sampai kandang-kandang bersatu dan hanya dibatasi dengan dinding pembatas.
Mata pencaharian hidup:
-          bercocok tanam disawah
Orang – orang aceh umumnya hidup dari hasil sawah yaitu padi. Padi disini merupakan makanan pokok sehari-hari dari seluruh masyarakat.
-          bercocok tanam diladang
Disamping menggarap sawah, ada juga orang aceh bekerja diladang. Kebanyakan ladang mereka letaknya jauh dari desa. Mereka membuka ladang dengan system menebang dan membakar bagian hutan yang letaknya dilereng-lereng gunung dan bukit-bukit. Pekerjaan pada umunya telah termasuk pekerjaan sambilan.
Menurut kepercayaan orang-orang aceh, perkawinan itu merupakan suatu keharusan yang ditetapkan oleh agama. Persoalan seks disini tidak merupakan factor yang menentukan. Perkawinan adalah suatu bentuk hidup bersama dari seseorang laki-laki dan seoarang perempuan yang memenuhi syarat dalam hokum.
Pendidikan agama di Aceh mrupakan pendidikan yang universal bagi setiap anak sejak umur 7 tahun. Tingkatan tingkatannya : madrasah disini mereka mendapatkan pengetahuan dasar dalam pengajian alqur’an. Setelah madrasah mereka dapat melanjutkan kepesantren yang ada didesa itu atau ditempat lain. Disini anak-anak mengaji dalam tingkt tinggi.
Disamping pendidikan agama kebanyakan masyarakat aceh mengambil pendidikan Pendidikan umum. Pendidikan umu ini dimaksudkan pendidikan yang berada dibawah pengawasan departemen pendidikan dan kebudayaan.

BAB III
KESIMPULAN


Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik, dan makanan khas.
Beberapa suku yang ada di Indonesia, antara lain:
1.      Kebudayaan penduduk Kalimantan Tengah
2.      Kebudayaan Minahasa
3.      Kebudayaan Penduduk Kepulauan Sebelah Barat Sumatra
4.      Kebudayaan Penduduk Pantai Utara Irian Jaya
5.      Kebudayaan Suku Ambon
6.      Kebudayaan Flores
7.      Kebudayaan Jawa
8.      Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia
9.      Kebudayaan Bugis - Makassar
10.  Kebudayaan Bali
11.  Kebudayaan Sunda
12.  Kebudayaan aceh
Berbagai suku yang ada di Indonesia ini memiliki ciri khas masing-masing yang dapat menjadi identitas suku mereka. Walaupun banyak suku yang berbeda, kehidupan antar suku relative damai.







DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

1 comment:

  1. Casino Night | The Spa at Borgata Hotel & Casino
    Casino Night. Casino Night 의정부 출장샵 in Atlantic City. 과천 출장마사지 Hotel. Borgata Hotel 안동 출장안마 & Casino features live music, entertainment, dancing, and fine dining. Rating: 세종특별자치 출장안마 4.5 · ‎7 reviews 전주 출장안마

    ReplyDelete