BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu
masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai
kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu
corak khas yang terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat
bersangkutan.
Corak khas dari suatu kebudayaan bisa
tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu
unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus; atau kerana di antara
pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus; atau dapat juga karena
warganya menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi
juga dapat disebabkna karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar.
Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari
kebudayaan yang lain. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak
khas adalah suku bangsa, atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Konsep yang tercakup dalam istilah
“suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi
seringkali dikuatkan oleh kesatuan bangsa juga.
Indonesia merupakan negara multikultural
yang memiliki beraneka ragam suku bangsa. Keberadaan dari banyaknya suku bangsa
tersebut akan menyebabkan konflik jika dari suku bangsa dan satunya tidak
saling mengenal dan mencintai. Oleh karenanya di bawah ini akan diperkenalkan
mengenai berbagai suku bangsa di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan multicultural suku?
2. Bagaimana
asal suku di Indonesia?
3. Apa
saja suku-suku yang ada di Indonesia?
C. Tujuan
1. Memahami
maksud multicultural suku
2. Mengetahui
asal suku di Indonesia
3. Mengetahui
macam-macam suku yang ada di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Multikultural Suku
Istilah
multikultur berasal dari kata multikultural, multi dan kultural, multi dan
kebudayaan. Multikultur berasal dari kata multi dan kultur. Multi artinya
banyak, dan kultur biasa disamakan dengan kata budaya. Dengan demikian kata
multikultur bermakna budaya yang banyak atau keberagaman budaya. Kata
multikultur dipergunakan untuk menyebut suatu masyarakat negara yang warga
negaranya memiliki kebudayaan beragam, sehingga memungkinkan terjadinya
perbedaan budaya diantara mereka.
Suku bangsa adalah golongan sosial yang
dibedakan dari golongan sosial lainnya. Menurut Koentjaraningrat
(1996) suku bangsa adalah
kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang khas, secara lengkap dikemukakan bahwa suku bangsa adalah golongan
manusia yang terikat dengan kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan
kebudayaan mereka sehingga kesatuan tidak ditentukan oleh orang luar melainkan
oleh warga kebudayaan yang bersangkutan.
Bangsa Indonesia terbagi atas ratusan
suku bangsa, yang masing-masing memiliki adat dan tradisi berbeda. Dari daftar
sementara suku bangsa di Indonesia yang dikumpulkan, diperkirakan terdapat
sekitar 360 kelompok suku bangsa.
B. Asal Suku di Indonesia
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa
yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa,
budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju
adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik, dan makanan khas.
Suku bangsa merupakan kumpulan kerabat
(keluarga) luas. Mereka percaya bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama.
Mereka juga merasa sebagai satu golongan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka
mempunyai bahasa dan adat istiadat sendiri yang berasal dari nenek moyang
mereka. Dari mana asal nenek moyang bangsa Indonesia? Ada teori yang menyatakan
penduduk Indonesia berasal dari daratan Cina Selatan, Provinsi Yunan sekarang.
Ada juga teori “Nusantara.”
Menurut teori pertama Suku bangsa Yunan
datang ke Indonesia secara bergelombang. Ada dua gelombang terpenting:
1. Gelombang
pertama terjadi sekitar 3000 tahun yang lalu. Mereka yang pindah dalam pe-riode
ini kemudian dikenal sebagai rumpun bangsa Proto Melayu. Proto Melayu disebut
juga Melayu Polynesia. Rumpun bangsa Proto Melayu tersebar dari Madagaskar
hingga Pasifik Timur. Mereka bermukim di daerah pantai. Termasuk dalam bangsa
Melayu Tua adalah suku bangsa Batak di Sumatera, Dayak di Kalimantan, dan
Toraja di Sulawesi.
2. Gelombang
kedua terjadi sekitar 2000 tahun lalu, disebut Deutero Melayu. Mereka disebut
penduduk Melayu Muda. Mereka mendesak Melayu Tua ke pedalaman Nusantara.
Termasuk bangsa Melayu Muda adalah suku bangsa Jawa, Minang-kabau, Bali,
Makassar, Bugis, dan Sunda.
Menurut teori “Nusantara” penduduk
Indonesia tidak berasal dari luar. Teori ini didukung banyak ahli, seperti
J.Crawfurd, K.Himly, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Gorys Keraf. Menurut para
ahli ini penduduk Indonesia (bangsa Melayu) sudah memiliki peradaban yang
tinggi pada bada ke-19 SM. Taraf ini hanya hanya dapat dicapai setelah
perkembangan budaya yang lama. Hal ini menunjukkan penduduk Indonesia tidak
berasal dari mana-mana, tetapi berasal dan berkembang di Nusantara.
Meskipun ada teori yang menyebutkan
bahwa bangsa Indonesia mempunyai nenek moyang yang sama, kenyataannya ada
beraneka ragam suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Tidak diketahui
secara pasti berapa jumlah suku bangsa di Indonesia. Diperkirakan ada 300
sampai 500 suku bangsa yang tinggal di Indonesia. Perbedaan jumlah ini
dikarenakan perbedaan para ahli dalam mengelompokkan suku bangsa. Sedangkan
keragaman suku bangsa di Indonesia antara lain disebabkan oleh:
1. perbedaan
ras asal,
2. perbedaan
lingkungan geografis,
3. perbedaan
latar belakang sejarah,
4. perkembangan
daerah,
5. perbedaan
agama atau kepercayaan, dan
6. kemampuan
adaptasi atau menyesuaikan diri.
C. Macam-Macam Suku di Indonesia
Dalam bukunya, Koentjaraningrat
menjelaskan beberapa suku yang ada di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Kebudayaan penduduk Kalimantan
Tengah
Sebagian
besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri dari orang Dayak yang terdiri atas
beberapa suku bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma’anyam, Ot Siang, Lawangan,
Katingan , dan lain-lain. Dari beberapa suku di Kalimantan Tengah tersebut yang
paling maju adalah suku Ngaju, karena dari kalangan merekalah kini ada paling
banyak orang terpelajar dan orang yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan di
Kalimantan Tengah.
Orang-orang
Dayak di Kalimantan tengah mendiami desa-desa yang terletak jauh satu dari yang
lain, ditepi-tepi atau di dekat sungai. Komunikasi antara satu desa dengan desa
yang lainnya pada umumnya melalui air. Bentuk rumah yang paling umum kini
terdapat di Kalimantan Tengah adalah rumah-rumah berbentuk lebih kecil yang
terbuat dari kayu dan bertonggak tinggi sebagai kakinya yang didiami oleh satu
sampai lima kelarga batih yang berkerabat, atau biasa disebut dengan sebutan
rumah lewu’.
Mata
pencaharian masyarakat Kalimantan Tengah adalah berladang, berburu, mencari
hasil hutan dan mancari ikan. System kekerabatan orang Dayak di Kalimantan
Tengah adalah berdasarkan prinsip keturunan ambilineal, sedangkan hokum adat
Kalimantan adalah hokum setempat yang tidak tertulis, sanksi dari hokum adat
kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian.
2. Kebudayaan Minahasa
Orang
Minahasa adalah orang-orang yang mendiami bagian timur lsut jazirah Sulawesi
Utara. Kota Madya Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, mempunyai penduduk orang
pribumi Minahasa, selain itu pendatang dari China, Arab, dan Eropa.
Mata
pencaharian masyarakat Minahasa adalah bercocok tanam. System kekerabatan orang
Minahasa adalah adat kebebasan untuk menentukan jodoh sendiri. Sesudah menikah
sewajarnya pengatin baru tinggal secara neolokal pada tempat kediaman yang baru
dan tidak mengelompok sekitar tempat kediaman kerabat suami atau kerabat istri.
System
organisasi social yang terpenting di Minahasa adalah dalam desa, baik dari
aspek pemerintahan maupun sebagai pusat aktivitas kemasyarakatan adalah
kampong. Kampong sebagai suatu kesatuan administrative dipimpin oleh hokum tua.
3. Kebudayaan Penduduk Kepulauan
Sebelah Barat Sumatra
Kelompok-kelompok
kepulauan itu adalah Simalur, Banyak, Nias, Batu, Mentawai dan Enggano.
Penduduk kepulauan Simalur dan Banyak, amat terpengaruh oleh adat-istiadat Aceh
dan umumnya bisa bicara bahasa Aceh, tetapi mereka mempunyai bahasa sendiri.
Penduduk dari Nias berlandaskan kepada suatu kebudayaan megalithik sejak zaman
perunggu, mereka mengembangkan suatu kebudayaan yang mempunyai suatu
kepribadian sendiri dengan suatu seni bangunan yang indah. Sedangkan penduduk
Mentawai seolah-olah terhindar dari kebudayaan megalithik serta teknologi
bertanam padi. Mereka tidak pandai membuat tembikar serta menenun dan mereka
tidak mengunyah sirih. Penduduk Enggano juga demikian, mereka mempunyai banyak
persamaan dalam kebudayaannya. Yang berbeda adalah: pertama, orang Enggano
mengucapkan suatu bahasa yang berbeda dari bahasa Mentawai. Kedua, orang
Enggano tidak mengenal adat pencacahan kulit seperti orang Mentawai yang
mempunyai sistem kekerabatan matrilineal.
Dalam
bab ini akan kita akan dipusatkan kepada kebudayaan penduduk Nias dan Mentawai
yang menunjukkan bagaimana dua kebudayaan yang berdekatan tapi menunjukkan
ciri-ciri yang amat berbeda
a. Kebudayaan
Nias
Penduduk
Nias merupakan pulau terbesar dari seluruh deret dan terpengaruh kebudayaan
Hindu maupun Islam. Mereka mengembangkan kebudayaan megalithik yang bukan
berdasarkan adat pengurbanan kerbau melainkan babi.
Asal
dari orang Nias atau Ono Niha yang mempunyai warna kulit yang lebih kuning dari
orang Indonesia. Bahasa Nias termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia, tetapi
agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya sifatnya vokalis, yaitu tidak
mengenal konsonan di tengah maupun akhir kata. Jumlah penduduk dalam tahun 1967
sekitar 875.000 jiwa.
Orang
Nias mendiami kabupaten Nias yang terdiri dari satu pulau besar utama dan
beberapa pulau-pulau kecil yang berada disekitarnya seperti pulau-pulau Hinako
di Barat, pulau-pulau Senau dan Lafau di Utara, pulau Batu di Selatan dan
lain-lain.
Mata
pencaharian hidup orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada
umumnya bercocok tanam, sedangkan di daerah pantai mereka pada umumnya berkebun
kelapa. Mata pencaharian tambahan orang Nias adalah berburu, menangkap ikan di
sungai, beternak dan pertukangan.
Kelompok
kekerabatan orang Nias yang terkecil adalah sangambato yaitu keluarga batih,
tetapi kelompok yang penting adalah sangambato sebua, yakni keluarga-luas
virilokal (virilokal extended familiy), yang terdiri dari keluarga batih senior
ditambah lagi dengan keluarga-keluarga batih putra-putranya yang tinggal
serumah, sehingga berupa suatu rumah tangga ( household), dan suatu kesatuan
ekonomis.
Masyarakat
Tano Niha sudah mengenala pelapisan masyarakat yang bersifat exsklusif.
Mobilitas hanya terjadi dalam lapisan yaitu antar golongan saja. Sedangkan
pengendalian sosial di Nias berupa hukum adat yang sampai sekarang masih hidup
berdampingan dengan hukum modern dari RI. Sanksi hukum adat kebanyakan berupa
denda (fogau), yang berupa babi, emas atau uang.
b. Kebudayaan
Mentawai
Jumlah
penduduk kepulauan Mentawai sudah lebih dari 20.000 orang. Penduduk Mentawai
antara lain orang-orang yang berasal pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai
Selatan. Semua keempat pulau Mentawai masih tertutup padat dengan hutan rimba
tropik dan banyak diantaranya masih bersifat rimba primer. Dari deret
pegunungan yang membujur di tengah-tengah keempat pulau mengalir berpuluh-puluh
sungai kecil. Tiap-tiap kampung biasanya terdiri dari tiga sampai lima wilayah
yang disebut perumaan, yang berpusat kepada satu rumah panggung yang besar atau
uma yang berfungsi sebagi balai pertemuan umum untuk upacara-upacara bersama.
Mata
pencaharian hidup orang Mentawai adalah berkebun, menangkap ikan, dan yang
exklusif dikerjakan laki-laki adalah berburu.
Sedangkan
kesatuan sosial yang paling penting dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat orang Mentawai adalah keluarga-batih dimana seorang laki-laki dan
seorang wanita hidup bersama sebagai suami-isteri.
Orang
Mentawai tidak lagi menjalankan upacara menghormati roh nenek moyang, tetapi
bahwa ia melakukan pesta suci di dalam hubungan dengan uma itu, sama saja
seperti kita kalau misalnya mengadakan selamatan untuk meresmikan pembangunan
baru dari rumah kita.Di antara orang Mentawai masih ada juga yang pergi ke
dukun atau sikerei, walaupun di desa tetangga yang jaraknya kira-kira sepuluh
kilometer ada tempat tinggal seorang menteri kesehatan atau dokter.
Adat
istiadat Mentawai sudah mengalami disintegrasi mulai 1920, tetapi masih banyak
unsur-unsur masih bertahan juga.
4. Kebudayaan Penduduk Pantai Utara
Irian Jaya
Suatu
desa di Daerah Pantai Utara terdiri dari beberapa deret rumah-rumah di atas
tiang yang tersusun rapi di kedua tepi dari suatu jalan tengah.
Bangunan-bangunan pusat dari daerah desa dalah gereja.
Penempatan
suatu rumah baru menurut adat istiadat orang desa Pantai Utara pada umumnya
membutuhkan suatu pesta yang agak besar, bernama nuanyadedka, dengan adanya
unsur penukaran pemberian antara kaum kerabat isteri si penghuni yang
menolongnya dalam proses pembangunan rumah, dengan kaum kerabatnya sendiri
,yang justru menjadi tamu pada upacara itu.
Mata
pencaharian hidup yang terpenting dari orang Bgu adalah meramu sagu (pom). Di
daerah pedalaman di hulu-hulu sungai seperti daerah hulu Tor, pekerjaan mencari
sagu merupakan pekerjaan wanita, tidaklah layak orang laki-laki campur tangan
dalam urusan sagu. Pekerjaan orang laki-laki terutama dalah berburu, mencari
hasil hutan dan sedikit berkebun, sedangkan mencari ikan adalah pekerjaan baik
bagi orang laki-laki maupun wanita. Tanah untuk berkebun merupakan
wilayah-wilayah tertentu di dalam hutan yang masing-masing ada di bawah hak
ulayat kelompok-kelompok kekerabatan patrilineal atau fam yang tertentu. Mata
pencahariaan yang membutuhkan uraian lebih luas adalah produksi kopra rakyat.
Sistem
kekerabatan penduduk Pantai Utara yang dulu mungkin bersifat agak keras
patrilineal ,sekarang bersifat kwasi-patrilineal, kelompok kekerabatannya yang
terpenting adalah keluarga batih, rumah tangga kadang-kadang lebih besar dari
keluarga batih, merupakan keluarga luas yang kecil, fam-fam yang secara resmi
memegang hak ulayat atas wilayah-wilayah sagu dan bercocok tanam.
Penyakit
kronis yang menghinggapi kehidupan komuniti di desa-desa pantai di Distrik
Pantai Utara itu adalah penyakit tak ada kepemimpinan. Kehidupan komuniti orang
penduduk desa-desa Pantai Utara tidak banyak dijiwai oleh gotong royong.
Secara
resmi orang penduduk Pantai Utara beragama Kristen ,namun tanggapan mengenai
dunia ghaib dan dunia akhirat masih banyak berasal dari religi mereka yang
asli. Dalam kehidupan sehari-hari mereka nampak amat realistis, walaupun mereka
tahu tentang adanya hal-hal seperti ilmu sihir pada penduduk pedalaman di
hulu-hulu sungai, tahu tentang kepercayaan suangi yang dibawa oleh orang
Ambon,tetapi kepercayaan tersebut tidak ada efeknya dalam kehidupan sosial
maupun rohaninya.
Dalam
kehidupan masyarakat penduduk desa Pantai Utara tidak ada upacara keagamaan
besar-besaran.
5.
Kebudayaan Suku Ambon
Ambon
adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di
Provinsi Maluku. Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang
masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang
tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan
berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Orang-orang suku
Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan
kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di
Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti
berlayar dan berenang. Pulau Ambon merupakan pulau yang terletak di Kepulauan
Maluku, di selatan Pulau Seram. Saat ini merupakan letak kota Ambon ibukota dari
provinsi Maluku.
Desa
adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa
yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri
dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil
rumah rumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon dibangun
dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu
dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari
beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan
dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang
memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi
untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat
dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim
ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Mata
pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini
orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar
batang-batang serta dahan-dahan yang telah kering.
Sistem
kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang
diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat
penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah
atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat
patrilinal. Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitu kawin lari, kawin
minta dan kawin masuk.
Mayoritas
penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan
pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan
kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam
di wilayah Maluku.
Ditinhau
dari keadaan iklim dan alamnya, potensi yang ada di Ambon ini adalah perikanan.
Sistem masyarakat Ambon mempunyai beberapa bentuk organisasi adat yang cukup
cocok untuk pembangunan, seperti organisasi pela dimana organisasi tersebut
dibentuk oleh masyarakat suku Ambon yang biasanya bekerja sama dengan para
petugas pembangunan masyarakat desa untuk memajukan dan memodernisasikan
masyarakat di Ambon.
6.
Kebudayaan Flores
Pulau
Flores merupakan salah satu pulau di Indonesia yang termasuk wilayah Propinsi
NTT. Penduduknya terdiri dari beberapa sub suku bangsa, yakni orang Manggarai,
orang Riung, orang Ngada, orang Nage-Keo, orang Ende, orang Lio, orang Sikka
dan orang Larantuka. Meskipun terdiri dari banyak suku tetapi perbedaan
diantaranya tidak terlalu besar dan kebudayaan Flores banyak diambil dari Suku
Manggarai.
Desa-desa
di Flires (Beo di Manggarai) dulu biasanya dibangun diatas bukut untuk
keperluan pertanahan. Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya
merupakan lingkaran dengan tiga bagian, yaitu depan (pa’ang), tengah (beo) dan
belakang (ngaung). Setiap rumah ada bagian keramat yang ditimbun batu besar
yang dianggap tempat roh-roh penjaga desa berada.
Mata
pencaharian masyarakat Flores adalah bercocok tanam di ladang dan beternak
hewan. Para warga laki-laki biasanya membuka lahan bersama dihutan. Hewan yang
menjadi peliharaan yaitu kerbau dan kuda karena dapat digunakan dalam
upacara-upacara adat, sebagai mas kawin, untuk menjadi lambang kekayaan dan
untuk membantu pekerjaan.
Perkawinan
yang umum dilakukan sebagaian besar masyarakat Manggarai adalah perkawinan
akibat pacar-pacaran antara pemuda dan pemudi. Kalau antara pemuda dan pemudi
sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama maka keluarga pemuda
melamar (cangkang) pada keluarga pemudi. Keluarga si gadis akan meminta mas
kawin (paca) yang tinggi berupa kerbau dan kuda sedangkan mereka juga akan
memberi imbalan yang besar pula. Pada Masyarakat Flores menganut klen atas
dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya disebut Fam antara
lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira.
Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling
intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga
atau di ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada
orang Ngada suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali.
Dalam
masyarakat sub-sub suku bangsa di Flores yang kuno ada suatu sistem strafikasi
sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah
keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas
senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang Manggarai misalnya ada
lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang
budak. Pada orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan
orang gae kisa dan juga lapisan orang budak (azi ana).
Pada masa sekarang sebagian besar
masyarakat di Flores beragama Katolik. Kepercayaan
Dinamisme juga berkembang di Flores yaitu menganggap sesuatu benda mempunyai
kekuatan gaib. Kepercayaan di daerah ini erat hubungannya dengan
kultus pertanian dan arwah nenek moyang. Dengan hubungannya kepercayaan baru
dan agama baru di samping kepercayaaan tradisional, sering timbul dulisme,
disatu pihak berdasarkan agama yang dianut, di lain pihak didasari kepercayaan
tradisional di dalam upacara-upacara yang dilaksanakan.
7.
Kebudayaan
Jawa
Daerah
kebudayaan jawa yang luas meliputi seluruh bagian tengan dan timur dari pulau
jawa. Sesungguhnya demikian ada
daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah kejawen. Sehubungan dengan hal itu maka dalam seluruh
rangka kebudayaan jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan mataram sebelum
terpecah pada tahun 1755 yaitu yogyakarta dan surakarta merupakan pusat dari kebudayaan
tersebut. Banyak daerah tempat kediaman
orang jawa terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat
lokal dalam kebudayaannya.
Mata
pencaharian orang jawa berasal dari pekerjaan-pekerjaan kepegawaian,
pertukangan dan perdagangan. Bertani
merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat
orang jawa di desa-desa. Didalam
melakukan pertanian ini mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk
dibuat kebun kering dam ada juga yang di buat sawah.
Sistem
kekerabatan orang jawa itu berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Sedangkan sistem istilah kekerabatannya
menunjukkan sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak wanita ayah
dan ibu, beserta isteri-isteri maupun suami masing-masing diklasifikasikan
menjadi satu istilah siwa atau uwa.
Adapun adik laki-laki dari ayah dan ibu diklasifikasikan kedalam dua
golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin menjadi paman bagi para adik
laki-laki dan bibi bagi para adik wanita.
Di
dalam kenyataan hidup masyarakat orang jawa, orang masih membeda-bedakan antara
orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang
kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang dan
pekerja kasar lainnya. Di samping
keluarga kraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara. Dalam kerangka susunan masyarakat ini, secara
bertingkat yang berdasarkan atas gensi-gensi itu, kaum priyayi dan bendara
merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah.
Agama
islam umumnya berkembang baik dikalangan masyarakat orang jawa. Hal ini tampak nyata pada bangunan-bangunan
khusus untuk tempat beribadat orang-orang yang beragama islam. Walaupun demikian tidak semua orang beribadat
menurut agama islam sehingga berlandasan atas kriteria pemelukan agamanya, ada
yang disebut islam santri dan islam kejawen.
Kecuali itu masih ada di desa-desa jawa orang-orang pemeluk agama
nasrani atau agama besar lainnya.
8. Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia
Orang
tionghoa yang ada di indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang
asal dari satu daerah di negara cina, tetapi terdiri dari berbagai suku bangsa
yang berasal dari dua propinsi yaitu fukien dan kwangtung, yang sangat
terpencar daerah-daerahnya. Setiap
imigran indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri bersama
dengan perbedaan bahasanya. Ada empat
bahasa cina di indonesia antara lain hokkien, teo-chiu, hakka dan kanton yang
demikian besar perbedaannya sehingga pembicara dari bahasa yang satuy tidak
dapat mengerti pembicara dari yang lain.
Sebagian
besar orang tionghoa di indonesia sekarang memang hidup dari perdagangan dan
hal ini suatu fakta terutama di jawa.
Sebagian besar dari mereka adalah orang hokkien. Orang hakka di jawa banyak yang menjadi
pedagang dan pengusaha industri kecil.
Orang kanton dan kwong fu di jawa untuk lebih dari 40% mempunyai
perusahaan-perusahaan industri kecil dan perusahaan dagang bumi.
Karena
sebagian besar orang dari tionghoa di indonesia tinggal di kota-kota maka hanya
dibicarakan disini perkampungan tionghoa di kota-kota. Perkampungan orang tionghoa di kota-kota itu
biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang pusat
pertokoan. Deretan-deretan rumah itu merupakan
rumah-rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya tidak mempunyai
pekarangan. Ciri khas dari rumah-rumah
orang tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip
pada ujung-ujungnya, dan dengan ukir-ukiran yang berbentuk naga. Pada rumah-rumah orang yang berada terdapar
banyak ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok.
Sistem
kekerabatan orang tionghoa. Perkawinan
itu menutup suatu masa tertentu didalam kehidupan seseorang yaitu masa bujang
dan masa hidup tanpa beban keluarga.
Orang cina baru di anggap dewasa bila ia telah menikah. Karena itulah upacara perkawinan harus mahal,
rumit dan agung untuk membuat perkawinan itu menjadi suatu kejadian yang
penting dalam kehidupan seseorang.
Dalam
masyarakat orang tionghoa di indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan
lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya. Namun perbedaan ini tidaklah sangat mencolok
karena golongan buruh ini tidak menyadari akan kedudukannya. Hal ini disebabkan karena sering masih adanya
ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.
Di
indonesia umumnya orang menganggap bahwa orang tionghoa itu memeluk agama
budha. Memang di cina sebagian besar
rakyatnya memeluk agama budha, tetapi di indonesia orang tionghoa adalah
pemeluk agama budha, kung fu tse dan tao, kristen, katolik atau islam. Pengajaran kung fu tse memang sering di
pandang sebagai agama bahkan dalam abad-abad ke 7 dan ke 8 ajaran kung fu tse
pernah menjadi agama pejabat-pejabat sipil negara dan kaum cendikiawan di negara
cina.
Pendidikan
bagi orang-orang tionghoa pada masa pemerintahan belanda selalu di anak
tirikan, bahkan apabila ingin memasuki bangku sekolah harus mengerti bahasa
belanda dan di wajibkan membayar sejumlah uang sekolah yang tinggi.
9. Kebudayaan Bugis - Makassar
Kebudayaan
Bugis – Makassar adalah kebudayaan dari suku-bangsa Bugis-Makassar yang
mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Jazirah itu
merupakan suatu provinsi, ialah provinsi Sulawesi Selatan, yang sekarang
terdiri dari 23 kabupaten, di antaranya dua buah kota – madya. Adapun
penduduknya berjumlah lebih dari 5.600.000 orang pada tahun 1969. Penduduk
provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa ialah: Bugis,
Makassar, Toraja dan Mandar.
Orang
Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan orang Makassar berbahsa Mangasara. Huruf yang
dipakai dalam naskah – naskah Bugis-Makassar kuno adalah aksara lontara, sebuah
sistem huruf yang asal dari huruf Sanskerta. Sejak permulaan abad ke – 17 waktu
agama Islam dan kesusastraan Islam mulai mempengaruhi Sulawesi Selatan ,maka
kesusastraan Bugis dan Makassarditulis dalam huruf Arab, yang disebut aksara
serang.
Sekarang
naskah – naskah kuno dari orang Bugis dan Makassar hanya tinggal ada yang
ditulis diatas kertas dengan pena atau ijuk (kallang) dalam aksara lontara atau
dalamaksara serang. Diantara buku- buku terpenting dalam kesusastraan Bugis dan
Makassar adalah buku Sure Galigo.
Desa-desa
di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan – kesatuan administratif,
gabungan – gabungan sejumlah kampung – kampung lama, yang terdiri dari sejumlah
kampung-kampung lama yang disebut dengan desa gaya baru. Sebuah kampung lama
dipimpin oleh seorang matowa dengan kedua pembantunya yang disebut suriang atau
parenung. Suatu gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa
Bugis dan pa’rasangan dalam bahsa Makassar.
Bagian-
bagian rumah pada suku Bugis-Makassar : rakkeang, ale-bola, awasao.
Jika
digolongkan menurut lapisan sosial, maka dibedakan menjdi 3 : sao-raja,
sao-piti’, bola.
Ada
beberapa tatacara juga untuk mendirikan rumah yang diatur pada suku Bugis-
Makssar ini.
Penduduk
Sulawesi Selatan adalah pada umumnya petani seperti biasa. Tetapi petani
tradisional yang masih menggunakan teknik peladangan. Adapun yang dekat denga pantai
menjadi seorang nelayan. Adapun kerajinan yang khas dari Sulawesi Selatan ini
adalah tenunan sarung sutera dari Mandar dan Wajo dari tenunan sarung Samarinda
dan Bulukumba.
Adat
Bugis – Makssar menetapkan perkawinan yang ideal, yaitu :
a. Perkawinan
assialang marola ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu baik
dari pihak ayah maupun ibu.
b. Assialana
memang ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak
ayah maupun ibu.
c. Ripaddeppe’
mabelae ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat tiga, baik dari pihak
ayah maupun ibu.
Ada
adat yang dilangsungkan untuk suatu perkawinan, yaitu : mappuce- puce
massuro madduppa. Perkawinan ini disebut silariang. Tetapi ada juga kawin lari
yang terjadi dan tentunya ada beberapa perkawinan yang dilarang.
Tiga
lapisan pokok yang ada di Bugi-Makssar (Freidericy), yaitu :
a. Anakarung
yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja
b. To-maradeka
Tu-mara-deka yaitu lapisan orang yang merdeka yang merupakan bagian besar dari
rakyat Sulawesi Selatan.
c. Ata
yaitu lapisan orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang
yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.
Sistem
adat keramat dari orang Bugis – Makassar berdasarkan atas lima unsur pokok
yaitu :
1. Ade’
2. Bicara.
3. Rapang
4. Wari’
5. Sara’
Kira-kira
90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya
10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik
umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain –lain
atau dari orang Toraja.
10. Kebudayaan Bali
Suku-
bagsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan
kesatuan budayanya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang
sama.
Perbedaan
pengaruh dari Jawa-Hindu di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dulu
menyebabakan adanya dua bentuk masyarakat di Bali yaitu Bali-Aga dan
Bali-Majapahit. Orang Bali-Aga biasanya mendiami desa-desa di daerah pegunungan
seperti Simbiran, Cempaga Sidapata, Pedawa, Tigawasa, di kbupaten Buleleng dan
desa Tenganan Pegringsingan di kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang
ada pada umumnya diam di daerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling
besar dari penduduk pulau Bali.
Di
wilayah pegunungan terletak kuil-kuil (pura) yang dianggap suci oleh orang
Bali, seperti Pura Pulaki, Pura Batukau, yang paling utama adalah Pura Besakih
yang letaknya dikaki gunung Agung.
Bahasa
yang digunakan tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, hanya saja ada
pembeda untuk berbicara dengan orangtua, basa alus. Memang bahasa pada zaman
Bali kuno lebih banyak menggunakan bahasa sanskerta. Di bali pun berkembang
kesusastraan lisan dan tulisan yang baik dalam bentuk puisi maupun prosa.
Di
samping kelompok-kelompok kerabat patrilineal yang mengikat orang Bali
berdasarkan atas prinsip keturunan, ada pula bentuk kesatuan-kesatuan sosial
yang berdasarkan atas wilayah, ialah desa. Desa-desa adat di tanah datar
biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas, sering terdaoat
diferensiasi ke dalam kesatuan adat yang khusus di dalamnya yang disebut
Banjar. Sistem keanggotaan banjar tidak tertutup dan terbatas kepada
orang-orang asli yang lahir di dalam banjar itu juga. Banjar dikepalai oleh
seorang kepala yang disebut klian banjar (kliang).
Sebagian
besar orang di Bali menganut agama Hindu-Bali. Walaupun demikian, ada pula
suatu golongan kecil orang-orang Bali yang menganut agam Islam, Kristen, dan
katolik.
Proses
perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali amat cepat, dan telah mendapat efek ke
sendi-sendinya. Keketatan hukum adat mengenai sistem kasta dan klen sudah mulai
kendor. Kaum terpelajar dan cendikiawan Bali tidak sempat lagi untuk mengikuti
detail adat-istiadat sehingga timbul penyederhanaan dalam sistem upacara
keagamaan. Dalam masa pembangunan ekonomi pun, Bali dijadikan suatu daerah
pariwisata yang utama. Sektor kepariwisataan telah memberi lapangan kerja pada
banyak orang di Bali, sehingga masyarakat mengalami transisi pembangunan dan
proses modernisasi.
11. Kebudayaan Sunda
Secara
antropologi-budaya bahwa yang disebut suku Sunda adalah orang-orang yang secara
turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam
kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, yang sering juga disebut Tanah
Pasundan (Tatar Sunda).
Desa
di Jawa Barat dilihat dari suatu kesatuan administratif terkecil yang menempati
tingkat paling bawah dalam susunan pemerintahan daerah. Di seluruh Jawa Barat
sistem pemerintahan desan itu pada garis besarnya sama, hanya dalam hal sebutan
bagi pejabat-pejabatnya terdapat perbedaan. Misal di Desa Bojongloa daerah
Sumedang, dikepalai oleh seorang kuwu yang dipilih oleh rakyat. Dalam
melaksanakan tugas-tugasnya kuwu didampingi oleh seorang jurutulis, tiga orang
kokolot, seorang kulisi, ulu-ulu, dan amil.
Dilihat
dari struktur sosial masyarakat, ada tiga unit sosial yang menjadi pusat
kehidupan ekonomi, yaitu kota, desa, dan darah perkebunan. Dilihat dari sudut
ekonomi, maka kota-kota merupakan pusat pengambilan bahan-bahan mentah dari daerah
pedesaan atau transito bahan-bahan mentah untuk diteruskan menuju kota-kota
besar. Di Jawa Barat, hak milik perseorangan atas tanah (balong) telah ada
sejak dulu, namun masih juga terdapat tanah milik komunal, yang disebut tanah
titisara (atau kanomeran di Ciamis, kacahcahan di Majalengka, dan kasikepan di
Cirebon). Terdapat juga hak makai tanah milik komunal untuk pamong desa atau
tanah bengkok (atau tanah kalungguhan di Ciamis, tanah kajaroan di Banten,
tanah carik di Priangan Timur), dan terdapat pula tanah komunal yang
dikhususkan bagi kuncen (penjaga makam keramat) yang disebut tanah awisan.
Sistem
kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara
turun-temurun oleh agama Islam. kedua unsur tersebut terjalin erat menjadi adat
kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Misalnya perkawinan, dilakukan baik
secara adat maupun agama Islam. Mengenai prinsip garis keturunan, sistem
kekerabatan di Pasundan bersifat bilateral, yang berarti garis keturunan yang
menghitungkan kekerabatan melalui orang laki-laki atau wanita. Adapun sistem
kekerabatan pada orang Sunda menunjukan ciri-ciri bilateral dan generasional.
Dilihat dari sudut Ego, orang Sunda mengenal istilah untuk tujuh generasi ke
atas dan tujuh generasi ke bawah, ialah:
Ke
atas Ke
Bawah
1. Kolot 1.
Anak
2. Embah 2.
Incu
3. Buyut 3.
Buyut
4. Bao 4.
Bao
5. Janggawareng 5.
Janggawareng
6. Udeg-udeg 6.
Udeg-udeg
7. Gantung siwur 7.
Gantung siwur
Agama
di sebagian orang Sunda adalah agama Islam, tetapi di dalam kehidupan
keagamaan, orang Sunda sebagai juga pada suku-suku bangsa lain di Indonesia
terdapat unsur-unsur yang bukan Islam, seperti kepercayaan kepada mite dan
kepercayaan-kepercayaan agama yang diliputi oleh kekuatan gaib. Sejak tiga
tahun terakhir ini, kehidupan agama di Jawa Barat dilakukan lebih intensif
lagi, tujuan edukatifnya memberikan petunjuk dan pelajaran agama bagi pegangan
hidup kerohanian. Disamping itu, aspek lain adalah untuk ketahanan rohaniah
bagi menghadapi pengaruh-pengaruh ideologi lain ang pada dasarnya atheistis,
seperti komunisme.
Sejak
bangsa Indonesia merdeka, terjadi perubahan sosial yang besar dalam masyarakat
Sunda. Timbulnya parttai politik sampaike desa menimbulkan pengelompokkan baru
berdasarkan ideologi modern, yang memotong sistem pengelompokkan ideologi lama
yang berdasarkan ikatan kekerabatan atau agama. Kemajuan dalam bidang
pendidikan pun sangat cepat.
12. Kebudayaan Aceh
Aceh
merupakan provinsi yang paling ujung letaknya disebelah utara pulau sumatera.
Luasnya 55.390 km2. Aceh dibagi dalam kedelapan daerah tingkat II (kabupaten) :
aceh besar, pidie, aceh utara, aceh timur, aceh tengah, aceh tenggara, aceh
barat dan aceh selatan.
Mengenai
batas yang memisahkan aceh dari daerah Sumatra utara yang lain, tidak ada
ketentuan yang dibuat oleh manusia, kecuali batas yang ditetapkan berdasarkan
pertumbuhan daerah yag kemudian, diikrarkan oleh perjanjian antar daerah. Batas
alam nya adalah sungai simpang kiri dibagian barat dan sungai tamiang disebelah
timur bagian selatan.
Bahasa
bahasa aceh seperti bahasa-bahasa lain di indonesia, bahsa aceh sendiri ada
beberapa bahasa yang masing –masing pembicaraannya saling tidak dapat mengerti.
Ini mungkin disebabkan antara lain karena bahasa-bahasa itu berkembanga melalui
proses pemecahan dan isolasi yang lama anntara kelompok-kelompok yang
mengucapkan bahasa-bahasa tersebut.
System
huruf yang khas kepunyaan aceh asli zaman dahulu tidak ada. Tulisan – tulisan
aceh menggunakan huruf arab melayu. Huruf ini dikenal setelah datangnya agama
islam di aceh dan merupakan hurrf- huruf yang banyak dijumpain pada batu nisan
raja-raja pasai seperti batu nisan sultan malikul saleh.
Pola
perkampungan desa. Desa bagi orang aceh disebut gampong. Setiap gampong terdiri
atsa kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain dan setiap desa
mempunyai 50 sampai 100 buah.
Rumah
orang aceh didirikan diatas tiang kayu atau bambu, berdasarkan atas kemampuan
orang. Tujuannya semata-mata dulunya adalah untuk menghindari diri dari
serangan binatang buas dan banjir. Rumah aceh didirikan berkelompok dan rumah-rumah
yang dengan penghuni yang mempunyai hubungan kekerabatan dibangun
berderet-deret, sampai kandang-kandang bersatu dan hanya dibatasi dengan
dinding pembatas.
Mata
pencaharian hidup:
-
bercocok tanam disawah
Orang
– orang aceh umumnya hidup dari hasil sawah yaitu padi. Padi disini merupakan
makanan pokok sehari-hari dari seluruh masyarakat.
-
bercocok tanam diladang
Disamping
menggarap sawah, ada juga orang aceh bekerja diladang. Kebanyakan ladang mereka
letaknya jauh dari desa. Mereka membuka ladang dengan system menebang dan
membakar bagian hutan yang letaknya dilereng-lereng gunung dan bukit-bukit.
Pekerjaan pada umunya telah termasuk pekerjaan sambilan.
Menurut
kepercayaan orang-orang aceh, perkawinan itu merupakan suatu keharusan yang
ditetapkan oleh agama. Persoalan seks disini tidak merupakan factor yang
menentukan. Perkawinan adalah suatu bentuk hidup bersama dari seseorang
laki-laki dan seoarang perempuan yang memenuhi syarat dalam hokum.
Pendidikan
agama di Aceh mrupakan pendidikan yang universal bagi setiap anak sejak umur 7
tahun. Tingkatan tingkatannya : madrasah disini mereka mendapatkan pengetahuan
dasar dalam pengajian alqur’an. Setelah madrasah mereka dapat melanjutkan
kepesantren yang ada didesa itu atau ditempat lain. Disini anak-anak mengaji
dalam tingkt tinggi.
Disamping
pendidikan agama kebanyakan masyarakat aceh mengambil pendidikan Pendidikan
umum. Pendidikan umu ini dimaksudkan pendidikan yang berada dibawah pengawasan
departemen pendidikan dan kebudayaan.
BAB III
KESIMPULAN
Bangsa
Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai
beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua
itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam
upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik,
dan makanan khas.
Beberapa
suku yang ada di Indonesia, antara lain:
1.
Kebudayaan penduduk Kalimantan Tengah
2.
Kebudayaan Minahasa
3.
Kebudayaan Penduduk Kepulauan Sebelah
Barat Sumatra
4.
Kebudayaan Penduduk Pantai Utara Irian
Jaya
5.
Kebudayaan Suku Ambon
6.
Kebudayaan
Flores
7. Kebudayaan
Jawa
8.
Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia
9.
Kebudayaan Bugis - Makassar
10.
Kebudayaan Bali
11. Kebudayaan
Sunda
12.
Kebudayaan aceh
Berbagai suku yang ada di Indonesia ini
memiliki ciri khas masing-masing yang dapat menjadi identitas suku mereka.
Walaupun banyak suku yang berbeda, kehidupan antar suku relative damai.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1981.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru
Casino Night | The Spa at Borgata Hotel & Casino
ReplyDeleteCasino Night. Casino Night 의정부 출장샵 in Atlantic City. 과천 출장마사지 Hotel. Borgata Hotel 안동 출장안마 & Casino features live music, entertainment, dancing, and fine dining. Rating: 세종특별자치 출장안마 4.5 · 7 reviews 전주 출장안마