“Problem Pragmented Stated dan Embeddednes Autonomy”
Relasi antar kekuasaan bisnis dan politik, dalam
studi-studi ada dua hal yang diperbincangkan. Pertama adalah keterlibatan
pemerintah (negara, politik) di dalam pasar (bisnis). Kedua adalah keterlibatan
bisnis (pasar) terhadap kehidupan politik (pemerintah, negara). Interaksi dari
keduanya merupakan suatu yang tidak terelakkan di dalam negara modern.
Bisnis dan Politik
Keterlibatan negara dalam ekonomi menimbulkan
perdebatan, bahwa keterlibatan tersebut akan menjadi pendorong bergeraknya
ekonomi atau justru menjadi penghalang. Para penganut ‘state-centred approach’ berpandangan bahwa negara memiliki peran
yang sangat penting di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui kekuasaan
dan otoritas yang dimilikinya, negara dapat membuat kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan ekonomi, baik makro maupun mikro. Kekuasaan negara dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi misalnya dalam bentuk BUMN.
Argumen yang menganggap penting negara dalam ekonomi
disebut sebagai ‘teori negara pembangunan’ (TNP) atau developmental state. Ada dua gagasan yang mempengaruhi munculnya
TNP. Pertama, gagasan tentang
‘industrialisasi terlambat’ (late
industrualisation). Friedrich List memandang bahwa ‘bangsa-bangsa yang
mengalami keterlambatan dalam pembangunan (less
advanced nations) membutuhkan negara untuk mengejar ketertinggalan (catch up) dari negara-negara maju dalam
rangka untuk mencapai pembangunan suatu negara yang lebih ekonomis dan
menyiapkan negara untuk memasuki sebuah masyarakat yang lebih universal dimasa
mendatang’. Kedua, gagasan tentang
‘negara otonom’ (state autonomy). Karl Marx mengatakan, di dalam negara
Bonaparte, negara dilihat memiliki otonomi yang kepentingannya tidak
dikendalikan oleh kelas-kelas tertentu. Negara, dengan demikian, bisa memiliki
kepentingan sendiri didalam memproduksi dan mereproduksi capital.
Dari gagasan-gagasan diatas, argument pokok TNP
adalah negara memiliki peran dan posisi yang sangat menentukan dalam
pembangunan. Peran dan posisi seperti ini terjadi karena negara memiliki
otonomi dan kemampuan (capability)
untuk melakukannya. Peran dan posisi yang sangat menentukan itu, paling tidak,
terlihat dari batasan ‘developmental
state’ (negara pembangunan-NP).
NP membutuhkan seperangkat kelembagaan dan komitmen
yang kuat dari elite negara. Perangkat kelembagaan lain yang dibutuhkan adalah
adanya negara yang relative otonom. Artinya, negara relative mempunyai
independensi terhadap berbagai kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Hal
ini tidak berarti bahwa kelompok-kelompok di dalam masyarakat tidak memiliki keuntungan
dari kebijakan-kebijakan negara.
Disamping itu, relative otonomnya negara juga tidak
berarti negara terlepas sama sekali dari kepentingan-kepentingan yang ada di
dalam masyarakat. Peter Evans menggambarkannya di dalam konsep ‘embedded autonomy’ untuk menyebut
adanya relasi dinamis antara negara dengan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
masyarakat.
Di luar state
centered approach dan state autonomy,
sebaliknya, para penganut ‘market centred
approach’ berpandangan bahwa peran negara yang terlalu besar di bidang
ekonomi justru menjadi penghalang bagi bergeraknya kegiatan ekonomi atau
disebut dengan government failure.
Argument pokok dari pendekatan ini adalah bahwa mekanisme pasar seharusnya
dibiarkan berjalan sendiri. Keterlibatan negara di bidang ekonomi juatru
dipandang sebagai penyebab rusak jalannya mekanisme pasar yang berjalan. Lebih
jauh Ruth McVey mengatakan bahwa argumentasi penting dari argument ini terletak
pada kapitalisme itu sendiri yang memiliki asumsi bahwa kompetisi itu pada
akhirnya akan bisa melahirkan efisiensi dan inovasi, sekaligus menghasilkan
adanya distribusi kekayaan yang rasional.
Pendekatan yang berpusat pada pasar menolak
intervensi negara kepada mekanisme pasar. Intervensi negara hanya akan
melahirkan stagnasi di dalam pertumbuhan ekonomi dan praktik korupsi. Dalam hal
ini, bukan berarti negara tidak memiliki peran sama sekali dalam kehidupan
ekonomi. Penganut pendekatan pasar menjelaskan peran negara, diantaranya dalam
hal menyediakan barang-barang public (public
goods), perahanan, hokum, hak intelektual; manajemen makro ekonomi; public health; melindungi yang miskin.
Negara Pasca-Orde Baru
Peran negara yang cukup besar di bidang ekonomi
telah membawa Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru, memiliki pertumbuhan
ekonomi yang cukup besar. Selama Orde Baru juga terdapat perubahan terhadap
perekonomian dari dominasi pertanian ke sector industry jasa dan manufaktur.
Meskipun demikian, kemajuan itu tidak terlepas dari
kritik. Kuatnya negara di bidang ekonomi tidak mengantarkan Indonesia
terkategori sebagai ‘development state’.
Karekteristik kekuasaan yang mempribadi telah membuat negara bercorak
patrimonial. Kekuasaan negara di bidang ekonomi tidak semata-mata dipakai
sebagai instrument untuk kemajuan usaha-usaha kelompok tertentu yang dekat
dengan kekuasaan.
Usaha untuk mengurangi peran negara di bidang
ekonomi sudah dimulai sejak 1980-an, ketika negara Indonesia sudah mencari
alternative lain dari ketergantungan yang besar kepada pendapatan dari sector
migas. Perubahan yang cukup besar terjadi pada krisis moneter 1997. Setahun
setelah krisis, pertumbuhan ekonomi minus 13 persen. Pada saat krisis ini, IMF
dan bank Dunia membantu untuk mengatasinya. Resep yang ditawarkan adalah melalui
kebijakan liberalisasi. Isu privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi
kemudian menjadi sesuatu yang sangat sentral di dalam kebijakan ekonomi
pemerintahan Indonesia ketika itu.
Dalam membuat kebijakan ekonomi, negara tidak bisa
leluasa seperti sebelumnya. Hal ini karena kekuatan politik tidak lagi
tersentralisasi dan terkonsentrasi pada kekuatan politik tertentu. Hasil tiga
kali pemilu pasca-orde baru tidak ada satu pun kekuatan politik yang dominan. Selain
itu, kebijakan otonomi daerah sejak 2001 mengakibatkan kebijakan dalam urusan
pemerintahan sebagian besar tidak lagi berada di pemerintah pusat, melainkan
berada di pemerintah daerah. Pemerintah tidak bisa lagi leluasa membuat dan
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tanpa berkoordinasi dengan pemerintah
daerah.
Penguasa-Pengusaha, Pengusaha-Penguasa
Dibandingkan dengan Orde Baru, pemerintahan
pasca-Orde Baru memang mengalami kelemahan ketika dikaitkan dengan
kekuatan-kekuatan yang ada di luarnya, termasuk kekuatan ekonomi. Tetapi,
dilihat dari relasi antara negara dan pasar, melemahnya negara
pasca-pemerintahan Orde Baru itu tidak serta merta menjadikan Indonesia menjadi
negara pengatur (regulatory state)
seperti halnya di kapitalisme pasar bebas. Negara, pada kenyataannya masih
memiliki otoritas yang cukup besar dalam mengatur kehidupan ekonomi, termasuk
dalam pemilikan dan penguasaan BUMN.
Panggung politik Indonesia sendiri semakin terbuka
bagi masuknya actor-aktor politik untuk terlibat di dalamnya. Semakin banyak
politisi yang berlatar belakang pengusaha, merupakan jawaban dari anjuran yang
sering dikemukakan bahwa sebelum menjadi politisi, seseorang terlebih dahulu
harus kaya. Hal ini muncul agar para politisi yang mengendalikan kekuasaan
tidak menyalahgunakan kekuasaaan untuk memperkaya diri, sehingga mereka lebih
focus pada bagaimana menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Disamping karena adanya proses demokratisasi,
masuknya politisi yang berlatar belakang pengusaha tidak lepas dari semakin
besarnya biaya di dalam berdemokrasi. Sebenarnya, masuknya pengusaha ke dalam
gelanggang politik memang wajar-wajar saja terjadi. Yang menjadi masalah adalah
ketika negara masih bercorak patrimonial. Kecenderungan demikian hanya akan
mengubah Indonesia dari yang sebelumnya bercorak Patrimonial Administrative State ke yang bercorak Patrimonial Oligarchic State. Bedanya,
kalau sebelumnya pola berbagai kebijakan itu berpusat pada negara, setelah itu
berpusat pada kekuatan-kekuatan ekonomi tertentu yang ada dalam pasar.
Masalah Embeddedness Autonomy
Indonesia memang tidak sekuat sebelumnya. Menurut
Richard Doner, suatu negara dikatakan kuat apabila memiliki dua karakteristik.
Pertama, negara harus memiliki kebebasan dari tekanan (insulated) dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat
sehingga memungkinkan negara untuk merumuskan kebijakan yang memungkinkan
diterima berbagai pihak. Kedua, negara, secara organisasi memiliki kemampuan
yang cukup dan terkoordinasi untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah
dibuat. Sejalan denganDoner, Peter Evan mengemukakan konsep ‘embedded autonomy’ dari negara. Bahwa
negara itu memiliki kapasitas dan tidak tergantung dan di bawah dominasi kelas
tertentu, meskipun tidak lepas sama sekali dari keterkaitannya dengan kelompok
–kelompok yang ada dalammasyarakat.
Kecenderungan seperti itu sulit terjadi di Indonesia
pasca-pemerintahan Orde Baru yang terfragmentasi dan teresentralisasi. Kekuatan
politik terfragmentasi menyebabkan sulit bagi adanya penguasa yang memiliki
kekuatan untuk terbebas dari tekanan-tekanan yang ada dalam masyarakat. Adanya
kebijakan-kebijakan pro pasar dan cenderung pro kelompok bisnis memang bisa
secara mudah ditafsirkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia tidak lagi terbebas
dari tekanan kelompok tertentu.
Penutup
Dari perspektif ekonomi politik, terdapat
pergeseran-pergeseran di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan
negara terfragmentasi, baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertical,
negara terfragmentasi berseiring dengan diimplementasikannya kebijakan otonomi
daerah. Secara horizontal, tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan di
dlaam proses-proses politik.
Meskipun demikian, hal ini tidak serta merta
menjadikan Indonesia menjadi negara kapitalis pasar bebas. Masih kuatnya
patronase di dalam politik, melemahnya negara dan menguatnya kekuatan-kekuatan
di luar negara telah menjadikan Indonesia cenderung kearah ‘Patrimonial Oligarchic State’, walaupun dalam taraf tertentu,
negara berusaha untuk membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berimbang, yang
emnguntungkan banyak pihak, sebagaimana terjadi dalam negara ‘embedded autonomu’. Tetapi. Seiring
dengan adanya kecenderungan pasar demokrasi, kekuatan-kekuatan yang memiliki
modal besar pada akhirnya yang lebih berpengaruh dari pada
kekuatan-kekuatanlainnya.
admin, referensinya nggak disertakan? padahal isi tulisannya menarik...
ReplyDelete