Anda Ingin, Anda Yakin, maka Itu MUNGKIN...

Friday 27 April 2012

Relasi Bisnis dan Politik


Problem Pragmented Stated dan Embeddednes Autonomy”

Relasi antar kekuasaan bisnis dan politik, dalam studi-studi ada dua hal yang diperbincangkan. Pertama adalah keterlibatan pemerintah (negara, politik) di dalam pasar (bisnis). Kedua adalah keterlibatan bisnis (pasar) terhadap kehidupan politik (pemerintah, negara). Interaksi dari keduanya merupakan suatu yang tidak terelakkan di dalam negara modern.
Bisnis dan Politik
Keterlibatan negara dalam ekonomi menimbulkan perdebatan, bahwa keterlibatan tersebut akan menjadi pendorong bergeraknya ekonomi atau justru menjadi penghalang. Para penganut ‘state-centred approach’ berpandangan bahwa negara memiliki peran yang sangat penting di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui kekuasaan dan otoritas yang dimilikinya, negara dapat membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi, baik makro maupun mikro. Kekuasaan negara dalam kegiatan-kegiatan ekonomi misalnya dalam bentuk BUMN.
Argumen yang menganggap penting negara dalam ekonomi disebut sebagai ‘teori negara pembangunan’ (TNP) atau developmental state. Ada dua gagasan yang mempengaruhi munculnya TNP. Pertama, gagasan tentang ‘industrialisasi terlambat’ (late industrualisation). Friedrich List memandang bahwa ‘bangsa-bangsa yang mengalami keterlambatan dalam pembangunan (less advanced nations) membutuhkan negara untuk mengejar ketertinggalan (catch up) dari negara-negara maju dalam rangka untuk mencapai pembangunan suatu negara yang lebih ekonomis dan menyiapkan negara untuk memasuki sebuah masyarakat yang lebih universal dimasa mendatang’. Kedua, gagasan tentang ‘negara otonom’ (state autonomy). Karl Marx mengatakan, di dalam negara Bonaparte, negara dilihat memiliki otonomi yang kepentingannya tidak dikendalikan oleh kelas-kelas tertentu. Negara, dengan demikian, bisa memiliki kepentingan sendiri didalam memproduksi dan mereproduksi capital.
Dari gagasan-gagasan diatas, argument pokok TNP adalah negara memiliki peran dan posisi yang sangat menentukan dalam pembangunan. Peran dan posisi seperti ini terjadi karena negara memiliki otonomi dan kemampuan (capability) untuk melakukannya. Peran dan posisi yang sangat menentukan itu, paling tidak, terlihat dari batasan ‘developmental state’ (negara pembangunan-NP).
NP membutuhkan seperangkat kelembagaan dan komitmen yang kuat dari elite negara. Perangkat kelembagaan lain yang dibutuhkan adalah adanya negara yang relative otonom. Artinya, negara relative mempunyai independensi terhadap berbagai kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa kelompok-kelompok di dalam masyarakat tidak memiliki keuntungan dari kebijakan-kebijakan negara.
Disamping itu, relative otonomnya negara juga tidak berarti negara terlepas sama sekali dari kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Peter Evans menggambarkannya di dalam konsep ‘embedded autonomy’ untuk menyebut adanya relasi dinamis antara negara dengan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.

Di luar state centered approach dan state autonomy, sebaliknya, para penganut ‘market centred approach’ berpandangan bahwa peran negara yang terlalu besar di bidang ekonomi justru menjadi penghalang bagi bergeraknya kegiatan ekonomi atau disebut dengan government failure. Argument pokok dari pendekatan ini adalah bahwa mekanisme pasar seharusnya dibiarkan berjalan sendiri. Keterlibatan negara di bidang ekonomi juatru dipandang sebagai penyebab rusak jalannya mekanisme pasar yang berjalan. Lebih jauh Ruth McVey mengatakan bahwa argumentasi penting dari argument ini terletak pada kapitalisme itu sendiri yang memiliki asumsi bahwa kompetisi itu pada akhirnya akan bisa melahirkan efisiensi dan inovasi, sekaligus menghasilkan adanya distribusi kekayaan yang rasional.
Pendekatan yang berpusat pada pasar menolak intervensi negara kepada mekanisme pasar. Intervensi negara hanya akan melahirkan stagnasi di dalam pertumbuhan ekonomi dan praktik korupsi. Dalam hal ini, bukan berarti negara tidak memiliki peran sama sekali dalam kehidupan ekonomi. Penganut pendekatan pasar menjelaskan peran negara, diantaranya dalam hal menyediakan barang-barang public (public goods), perahanan, hokum, hak intelektual; manajemen makro ekonomi; public health; melindungi yang miskin.
Negara Pasca-Orde Baru
Peran negara yang cukup besar di bidang ekonomi telah membawa Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru, memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Selama Orde Baru juga terdapat perubahan terhadap perekonomian dari dominasi pertanian ke sector industry jasa dan manufaktur.
Meskipun demikian, kemajuan itu tidak terlepas dari kritik. Kuatnya negara di bidang ekonomi tidak mengantarkan Indonesia terkategori sebagai ‘development state’. Karekteristik kekuasaan yang mempribadi telah membuat negara bercorak patrimonial. Kekuasaan negara di bidang ekonomi tidak semata-mata dipakai sebagai instrument untuk kemajuan usaha-usaha kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Usaha untuk mengurangi peran negara di bidang ekonomi sudah dimulai sejak 1980-an, ketika negara Indonesia sudah mencari alternative lain dari ketergantungan yang besar kepada pendapatan dari sector migas. Perubahan yang cukup besar terjadi pada krisis moneter 1997. Setahun setelah krisis, pertumbuhan ekonomi minus 13 persen. Pada saat krisis ini, IMF dan bank Dunia membantu untuk mengatasinya. Resep yang ditawarkan adalah melalui kebijakan liberalisasi. Isu privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi kemudian menjadi sesuatu yang sangat sentral di dalam kebijakan ekonomi pemerintahan Indonesia ketika itu.
Dalam membuat kebijakan ekonomi, negara tidak bisa leluasa seperti sebelumnya. Hal ini karena kekuatan politik tidak lagi tersentralisasi dan terkonsentrasi pada kekuatan politik tertentu. Hasil tiga kali pemilu pasca-orde baru tidak ada satu pun kekuatan politik yang dominan. Selain itu, kebijakan otonomi daerah sejak 2001 mengakibatkan kebijakan dalam urusan pemerintahan sebagian besar tidak lagi berada di pemerintah pusat, melainkan berada di pemerintah daerah. Pemerintah tidak bisa lagi leluasa membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tanpa berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Penguasa-Pengusaha, Pengusaha-Penguasa
Dibandingkan dengan Orde Baru, pemerintahan pasca-Orde Baru memang mengalami kelemahan ketika dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan yang ada di luarnya, termasuk kekuatan ekonomi. Tetapi, dilihat dari relasi antara negara dan pasar, melemahnya negara pasca-pemerintahan Orde Baru itu tidak serta merta menjadikan Indonesia menjadi negara pengatur (regulatory state) seperti halnya di kapitalisme pasar bebas. Negara, pada kenyataannya masih memiliki otoritas yang cukup besar dalam mengatur kehidupan ekonomi, termasuk dalam pemilikan dan penguasaan BUMN.
Panggung politik Indonesia sendiri semakin terbuka bagi masuknya actor-aktor politik untuk terlibat di dalamnya. Semakin banyak politisi yang berlatar belakang pengusaha, merupakan jawaban dari anjuran yang sering dikemukakan bahwa sebelum menjadi politisi, seseorang terlebih dahulu harus kaya. Hal ini muncul agar para politisi yang mengendalikan kekuasaan tidak menyalahgunakan kekuasaaan untuk memperkaya diri, sehingga mereka lebih focus pada bagaimana menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Disamping karena adanya proses demokratisasi, masuknya politisi yang berlatar belakang pengusaha tidak lepas dari semakin besarnya biaya di dalam berdemokrasi. Sebenarnya, masuknya pengusaha ke dalam gelanggang politik memang wajar-wajar saja terjadi. Yang menjadi masalah adalah ketika negara masih bercorak patrimonial. Kecenderungan demikian hanya akan mengubah Indonesia dari yang sebelumnya bercorak Patrimonial Administrative State ke yang bercorak Patrimonial Oligarchic State. Bedanya, kalau sebelumnya pola berbagai kebijakan itu berpusat pada negara, setelah itu berpusat pada kekuatan-kekuatan ekonomi tertentu yang ada dalam pasar.
Masalah Embeddedness Autonomy
Indonesia memang tidak sekuat sebelumnya. Menurut Richard Doner, suatu negara dikatakan kuat apabila memiliki dua karakteristik. Pertama, negara harus memiliki kebebasan dari tekanan (insulated) dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat sehingga memungkinkan negara untuk merumuskan kebijakan yang memungkinkan diterima berbagai pihak. Kedua, negara, secara organisasi memiliki kemampuan yang cukup dan terkoordinasi untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat. Sejalan denganDoner, Peter Evan mengemukakan konsep ‘embedded autonomy’ dari negara. Bahwa negara itu memiliki kapasitas dan tidak tergantung dan di bawah dominasi kelas tertentu, meskipun tidak lepas sama sekali dari keterkaitannya dengan kelompok –kelompok yang ada dalammasyarakat.
Kecenderungan seperti itu sulit terjadi di Indonesia pasca-pemerintahan Orde Baru yang terfragmentasi dan teresentralisasi. Kekuatan politik terfragmentasi menyebabkan sulit bagi adanya penguasa yang memiliki kekuatan untuk terbebas dari tekanan-tekanan yang ada dalam masyarakat. Adanya kebijakan-kebijakan pro pasar dan cenderung pro kelompok bisnis memang bisa secara mudah ditafsirkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia tidak lagi terbebas dari tekanan kelompok tertentu.
Penutup
Dari perspektif ekonomi politik, terdapat pergeseran-pergeseran di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan negara terfragmentasi, baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertical, negara terfragmentasi berseiring dengan diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah. Secara horizontal, tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan di dlaam proses-proses politik.
Meskipun demikian, hal ini tidak serta merta menjadikan Indonesia menjadi negara kapitalis pasar bebas. Masih kuatnya patronase di dalam politik, melemahnya negara dan menguatnya kekuatan-kekuatan di luar negara telah menjadikan Indonesia cenderung kearah ‘Patrimonial Oligarchic State’, walaupun dalam taraf tertentu, negara berusaha untuk membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berimbang, yang emnguntungkan banyak pihak, sebagaimana terjadi dalam negara ‘embedded autonomu’. Tetapi. Seiring dengan adanya kecenderungan pasar demokrasi, kekuatan-kekuatan yang memiliki modal besar pada akhirnya yang lebih berpengaruh dari pada kekuatan-kekuatanlainnya.

1 comment:

  1. admin, referensinya nggak disertakan? padahal isi tulisannya menarik...

    ReplyDelete